curhatibu.com

Pilihan #17



Pada akhirnya, hati yang bahagia adalah pilihan. Pilihan dirimu, apakah engkau ingin bahagia, atau menghancurkan rasa yang ada dengan kesedihan yang luar biasa. 

Kata Mark Manson, dalam buku "Sebuah seni untuk bersikap bodo amat", di halaman 117 
Banyak orang yang mungkin disalahkan atas ketidakbahagiaan Anda, namun tidak seorang pun yang bertanggung jawab atas ketidakbahagiaan Anda. selain Anda. Ini karena Anda selalu memilih bagaimana Anda memandang sekitar Anda, bagaimana Anda bereaksi terhadapnya, bagaimana Anda menilai sesuatu. Anda selalu memilih ukuran yang Anda gunakan untuk menilai pengalaman Anda. 
Dalam kehidupan kita ini, sering dihadapkan dengan kesalahan orang lain. Sayangnya, kita yang harus bertanggung jawab atas kesalahan tersebut. Pelakunya entah kemana tak diketahui. Namun, apakah kita lalu menuntut orang tersebut sepanjang masa, menuntut untuk mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya? Itu akan merampas kebahagiaan kita. Pasti. 

Tugas kita sederhana : menerima bahwa, ya, itu kesalahan orang tersebut. Lalu apa? Ya, saya berhak memilih respon atas hal tersebut. Respon yang bisa merenggut bahagia saya selanjutnya, atau respon yang membuat saya tetap berjalan normal seperti biasa. 

Misal kita sudah mengonsep suatu acara. Kita serahkanlah urusan beberapa part dekorasi, ke panitia lain. Sudah donk, kita percaya. Tapi di hari H, yang ditunggu tidak muncul juga. Sehingga, lowong-lah hiasan di bagian backdrop panggung. Bagaimana? Itu kesalahan kita? Bukan. Itu kesalahan orang lain. Tapi, apakah kita tetap harus bertanggung jawab? Ya, harus. Paling tidak, kita harus mengambil tanggung jawab atas pilihan yang kita ambil :hati tetap slow dengan tetap memaksimalkan agenda yang ada (sehingga peserta tak lagi peduli dengan urusan hiasan/dekor), atau hati sibuk menggerutu dan memaki si pembuat dekor karena tidak becus. 

Oke, memang itu bukan kesalahan kita; tapi, yang membuat hati kita lalu tidak bahagia siapa? Bukan dia, melainkan hati kita sendiri yang bertanggung jawab memilih. 

Ada banyak sekali hal yang ada di luar kontrol kita. Hal-hal yang bahkan tidak kita terduga datangnya. Entah itu urusan perasaan orang, respon orang, perilaku orang, atau segala kejadian di luar diri kita. Kita tidak punya kontrol atas semua itu. Yang bisa kita kontrol adalah respon kita terhadap itu semua. Apakah berefek positif atau negatif pada diri kita. Itu pilihan kita. 

Perkataan orang, misalnya. Mereka berkata menyakitkan, mereka melepaskan kata-kata kotor, mereka memaki-maki kita, mereka menjelek-jelekkan kita; itu di luar kendali kita. Terserah mereka. Dan kita tidak bisa mengatur mulut mereka. Yang bisa kita atur adalah  mulut kita; bagaimana kita menanggapinya Apakah kita menanggapi dengan yang serupa; makian dibalas makian, perang kata-kata kotor, dan saling bertukar kalimat-kalimat menyakitkan. Atau, apakah kita memilih diam, tidak membalas, bahkan mengeluarkan ucapan terimaka kasih, juga nasehat indah untuk mereka? Termasuk hati kita. Apakah ia akan merasa tersakiti, atau memaafkan. 

Yes, betul, itu bukan kesalahan kita; itu kesalahan mereka, mereka tentu salah karena perkataan tak semestinya itu keluar dari lisan-lisan mereka. Tapi, sekali lagi, kita seringkali harus bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan kesalahan kita. Setidaknya, kita bertanggung jawab atas hati kita; apakah mengambilnya sebagai perenggut kebahagiaan, atau membuatnya sekedar berlalu karena memang ya, sudah, toh kita tidak bisa kendalikan mereka. 

Respon orang pun demikian. Misalnya seorang ibu di rumah, sudah menyiapkan hidangan yang menurutnya luar biasa; untuk suaminya. Harapannya, sang suami suka dengan masakannya. Namun, ketika suami datang, boro-boro makan, menengok meja makan saja, tidak. Langsung masuk kamar, dan tidur karena kecapekan. Lalu, apakah ini akan menghancurkan kebahagiaan kita, karena harapan atas respon positif tak didapatkan? Itu pilihan kita. Apakah perlakuan suami membuat kita kehilangan perasaan berharga, ya, tidak lagi dihargai; atau, kita mengambil jalan rasa lain, bahwa suaminya benar-benar sedang lelah; mungkin jika nanti bangun, dan dia melihat hidangan itu, akan mau dia mencicipinya, dan bisa jadi suka. 

Tentang respon orang ini, saya teringat dengan konsep Islam yang begitu luar biasa. Tidak hanya urusan respon sih, perkataan juga perbuatan orang; siapapun, yang ada di luar kehidupan kita. Konsep bahwa, "Jika engkau mendapati kesalahan dilakukan oleh saudaramu, maka berilah 70 udzur. Jika tidak ketemu, maka berarti ada udzur yang belum kau ketahui"

Lihat. Misalnya kita melihat tetangga berkumpul, rupanya bergosip. Sembari melirik-lirik ke arah rumah kita. Kita punya 2 pilihan : mencurigai bahwa mereka sedang mengghibah kita - lalu kita jadi tidak bahagia karena bertanya-tanya punya salah apa, atau kita tidak bahagia karena jadi timbul kebencian pada yang berbincang; atau pilihan kedua kita berprasangka baik bahwa mereka tidak sedang bergosip, atau kalaupun bergosip, tidak sedang membicarakan diri kita, atau kalaupun membicarakan diri kita, toh bukan yang buruk; bahkan kalau buruk sekalipun, ada konsep berikutnya bahwa dosa-dosa kita bisa ditransfer kepada pengghibah, dan pahala pengghibah bisa masuk ke rekening amal kita. Wow.. Jika urusannya seperti ini; kira-kira hidup akan lebih nyaman atau semakin tertekan? tentu nyaman. 

Ya, ada banyak hal di luar kendali kita; yang sudah menjadi taqdir Allah Swt. Tugas kita sebagai manusia, menerimanya. Ya, kita terima. Termasuk menerima bahwa hati kita terkadang sedih, marah, kesal, gundah; atas sesuatu hal. Harus diterima. Untuk apa? Untuk kita membaikkannya menjadi rasa yang lebih nyaman. 

Kesedihan, ketakutan, kecemasan, kelaparan, dsb itu ujian yang diberikan Allah. Tentu bukan tanpa alasan. Segala kesulitan yang datang itu, untuk menguatkan diri kita, membaikkan diri kita, menaikkan level kita menjadi hamba yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih dicintaiNya. 

Maka ketika hal-hal itu datang; kita tidak perlu menyalahkan siapapun, bahkan sekalipun itu jelas salah orang lain. Yang perlu kita lakukan mengontrol hati dan perasaan kita, supaya bisa tetap bahagia. 

Contoh lain terkait hal ini. Suatu saat, anak kita diberi permen oleh tetangga. Alhasil, anak kita batuk. Hingga beberapa hari. Kita tentu khawatir, juga sedih karena anak kita semalaman tidak nyenyak tidur, terganggu batuk-batuk setiap beberapa menit sekali. Belum lagi sampai demam, juga rewel karena tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya, juga kecapekan karena istiratnya tidak optimal. Lalu sebagai ibu, apa yang harus dilakukan? Datang menemui tetangga, demo, protes, meminta ganti rugi, lalu habis waktu berdebat jika ternyata penyebab tak diakui? Atau kita terima kondisi yang ada, kita memilih untuk bertanggung jawab sebagai ibunya, memberikan pengobatan dan perawatan terbaik, juga kesabaran terbaik; sehingga anak akan cepat berangsur pulih dari  sakitnya. 

Kita bisa memilih untuk tetap bahagia, atau selalu merasa menjadi korban lalu sibuk mengajukan tuntutan, yang terkadang sudah diyakini ke-nihil-an hasilnya. 

Well.. Ini aja tulisan kali ini. Jujur, menulis ini, entah kenapa terasa lama sekali ya. Mungkin karena topiknya cukup berat. Oke, lain kali, lebih ringan aja deh pembahasannya. Hehehe... 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)