curhatibu.com

Adalah Ujian, Untuk Introspeksi Diri



Saya menemukan beberapa part kalimat dalam buku bagus terkait adab penuntut ilmu, sebagai berikut :

"...bicaralah kepada kaum selama mereka memandang kepadamu dengan pandangan mereka. Jika kamu melihat mereka jenuh, maka berhentilah."

Bagaimanapun, ketika kamu melihat orang orang sangat menanti kamu berbicara, maka bicaralah. 

Jika kamu melihat situasi tidak mendukung, maka janganlah berbicara, janganlah memberatkan manusia.

Sesungguhnya kamu tidak perlu menyampaikan pembicaraan kepada suatu kaum, kecuali kamu tau mereka akan menyukainya. Jika tidak, maka janganlah berbicara pada mereka.

Faedah yang benar tidak disampaikan kecuali kepada orang yang memang mencarinya, tidak diberikan kecuali pada orang yang memang mencintainya. Jika pembicara melihat adanya kejenuhan pada pendengar, hendaknya ia berhenti, karena sebagian sastrawan berkata, "aktivitas (semangat) pembicara disesuaikan dengan pemahaman pendengar"

Pemahaman adalah hal yang tidak tampak, akan tetapi guru akan lebih bersemangat jika melihat muridnya memberikan perhatian kepadanya, mereka berdiam dan mendengarkan semua ucapannya

(Syarah Hilyah Tholibil Ilmi)

Ya.. mungkin, hanya mereka yang pernah berposisi menjadi seorang guru, pengajar, pembicara, yang bisa merasakan hal itu.

Dan sungguh, ada ujian kesabaran di sini. Betapa seorang guru harus bisa bersabar tatkala menyampaikan ilmu kepada muridnya. Karena tidak semua murid akan duduk diam mencatat dan patuh pada adab adab di majelis. Akan ada satu dua orang atau bahkan kadang sebagiannya lupa dg adab, sehingga seolah ia mengikuti majelis dengan keterpaksaan, kelelahan, kebosanan. Dan entahlah, mau tidak mau, ini sangat berpengaruh pada semangat, atau mungkin saya katakan "mood" seorang guru dalam menyampaikan ilmu.

Ketika ia sudah menyiapkan segala amunisi materi, dengan harapan besar murid didiknya bisa paham dengan suatu tujuan pembelajaran tertentu; namun di pertengahan, atau bahkan di awal pembukaan, sudah didapati sang murid tidak berselera mendengar. Bahkan untuk duduk pun, ia bergoyang kanan kiri karena mungkin terburu dengan tugas dan pemikiran lain di luaran sana.

Nah, jika sudah begini, apakah yang guru lalu berhak untuk meninggalkan majelis, dg menyalahkan muridnya yg tidak semangat mendengarkannya? Hheu.. beberapa ulama salaf melakukan hal itu. Ketika ada muridnya yang berisik sedikit, maka majelis dibubarkan. Alasannya sebenarnya bukan karena ia ingin dihargai; tapi karena perbuatan itu sudah mencerminkan tidak dihargainya suatu majelis, padahal di dalamnya dibacakan ayat Allah, dan hadits Rasulullah.

Lalu bagaimana dg level kita? Mungkin dg kondisi murid demikian, tatkala kita menjadi guru; justru harus menjadi sarana evaluasi diri kita. Ya, kita masih belum mumpuni ilmunya, sehingga murid pun enggan atau tidak tsiqoh dg yg kita sampaikan. Ya, kita masih ngomong doang tanpa amal atas apa yg kita omongkan; sehingga tidak ada "ruh" dalam perbincangan kita. Ya, cara kita menyampaikan masih "sekadarnya" sehingga murid pun tidak merasakan kesungguhan kita, lalu ikut terpengaruh tidak serius. Ya, adab dan akhlak kita masih belum layak dicontoh sehingga yang nampak adalah sosok menjemukan yg tak enak dipandang.

Ah, evaluasi evaluasi evaluasi... 

Namun jika kita sebagai murid; bagaimanapun kondisi guru kita, tugas kita adalah menunjukkan kesungguhan dan semangat. Jangan sampai dg perilaku kita yg tidak semangat, lalu orang lain pun turut menjadi korban atas "keengganan" seorang guru memberikan faedah yg semestinya ingin disampaikan.

Well..lagi lagi... Evaluasi diri.. bukan menunjuk dan menyalahkan pihak lain; tapi evaluasi diri. Oke, 
Mak?

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)