curhatibu.com

Wisuda, Ingin tapi...



Wisuda adalah momen sakral bagi siapa saja yang tengah atau selesai menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Memakai pakaian terbaik, riasan tercantik, jas terapik supaya makin tampan, menggandeng ayah ibu untuk bersama menyaksikan momen sakral seumur hidup itu... Lalu mengabadikan proses pemindahan tali topi wisuda, ah apalah itu namanya. Dan diakhiri dg foto foto berlatar belakang rak buku atau kampus kesayangan.
Itu impian saya dulu. Perjuangan mendapatkan tiket kursi wisuda untuk dua orang, karena memang sangat terbatas jatahnya waktu itu. Hingga kami harus antri dari sebelum subuh, di Selasar gedung I. Tidak lain untuk dulu duluan mendapat jatah dua kursi bagi kedua orang tua kami.
Dengan izin Allah, saya pun mendapatkan nya, meski harus begadang semalam suntuk.

Sampailah pada momen menjelang hari H wisuda. Bapak ibu mengabari sudah sampai rumah Om di Bogor. Saya pun bergegas, dari Bintaro, naik angkot, bus trans Jakarta untuk sampai Bogor. Maklum, waktu itu saya belum mengenal KRL.

Sampai di pangkalan angkot terakhir di komplek perumahan Om, saya dijemput oleh Tante, naik sepeda motor.

Barulah saya diberi tau kabar, "Ibuk kena Tipes, dek"

Deg.

Ibu pasti telat makan dan kelelahan dalam perjalanan ke sini.
Tibalah saya di rumah Om. Disambut bapak. Sedang ibu, hanya bisa berbaring di kursi ruang tengah. Lemas.

"Buk, yuk ke dokter Bu..", bujukku.

Ibu tidak mau. Merasa masih kuat.

Tapi di sore hari, tiba tiba badan ibu menggigil, "Dek, ibu kedinginan.. selimut ya dek". Padahal tubuhnya dipegang panas.

Saya kembali membujuk ibu, "Bu, yuk kita ke rumah sakit yuk Bu... Biar cepet sembuh..."
Kata ibu, "Jangan dek. Kalau ibu ke rumah sakit, ibu ga akan boleh ikut lihat wisudamu, mesti bakal dirawat!"

Saya terdiam sejenak. Mencoba menguatkan diri dan hati, untuk tidak meneteskan air mata ini.
"Ga, Bu, besok sudah boleh pulang insyaallah.. dan bisa ikut wisuda..."

Alhasil, jadilah kami ke rumah sakit. Sebelum ke rumah sakit, ibu menyempatkan diri menyiapkan baju kebaya, dan kain Jarit yang sudah berbentuk rok, serta jilbab dan pernak pernik hiasan wisuda besok. Tak lupa membawa perlengkapan makeup nya. Ah saya juga baru ngeh esok harinya.

"Besok pakai ini ya dek..."

"Iya Bu..", kataku sambil membereskan baju baju ibu yang kemungkinan akan dibawa ke rumah sakit.

Malam wisuda, kami sibuk mengurus keperluan ibuk di rumah sakit. Benarlah, memang harus dirawat saat itu juga. Dapat kamar, ibu langsung dirawat.

Malam itu, entah, sepertinya saya tidak tidur. Begitu juga mungkin ibu. Tapi tak banyak yang kita obrolkan. Satu hal yang saya sesalkan sampai sekarang adalah semestinya saya lebih banyak bercerita kepada beliau. Ada banyak hal yang bisa saya kisahkan. Tentunya beliau ingin mendengarkan celoteh saya. Ah sudahlah.

Dini hari, mungkin pukul 3, ibu sudah bangun. Memintaku bersiap. Awalnya aku enggan untuk hadir. Namun, bagaimanapun, kedatangan bapak ibu ke sini adalah untuk menghadiri wisudaku. Mana mungkin aku membatalkannya sendiri.

Ibu sempat memaksa untuk ikut. Tapi, dalam benak saya, ada ketakutan jika tiba tiba ibu pingsan di sana atau malah sakitnya lebih parah.

Saya tau betapa sedihnya hati ibu karena tidak bisa menghadiri wisuda saya, momen yang sudah beliau nantikan bertahun tahun, dengan segala perjuangan beliau membiayai kehidupan dan pendidikan saya.

Saya tau sekali, bahwa meskipun di kampus STAN tidak bayar; tapi di rumah ibu terus saja ikut mencari penghasilan tambahan. Apakah itu jualan, atau dengan rias pengantin nya. Lelah, iya. Malam, subuh, dini hari.. sehingga beliau lupa makan, telat makan, ga teratur, dan inilah yang membuat beliau terkena Magh akut.

Lalu di saat momen "penghargaan" atas perjuangannya, beliau tidak bisa hadir.

Saya berupaya untuk terus menahan air mata saya supaya tidak terjatuh saat itu. Di sela beliau merapihkan dandanan saya, bedak, rambut, jilbab, baju. Beliau rapihkan, sedang kondisi beliau masih di atas ranjang pasien, dengan infusan di tangan nya. Siapa yang tidak ingin menangis kala itu.

Namun, apakah saya tega untuk membuatnya lebih dan lebih sedih jika melihat anak perempuan nya menangis?

Selesai persiapan, om, pakdhe dan bapak sudah siap berangkat. Saya bilang kepada ibu, "Nanti saya fotoin ya Bu...  Ibu baik baik di sini ya Bu.."

Sempat ibu berkata,"ibu sendirian di sini dek... Tapi nanti ada Tante ke sini"

Saya tau sekali, ada rasa takut teramat dalam yang dirasakan ibu. Di tempat asing, di rumah sakit, di kota orang. Tanpa keluarga menemani.

Berat rasa waktu itu. Tapi kami harus berangkat.

Well.. sampai di JCC, sejenak saya ingin melupakan "kesedihan" itu. Saya berfoto foto dengan teman teman seangkatan. Sampai akhirnya momen wisuda Bla Bla Bla terselesaikan. Tak banyak yang saya ingat, apa saja prosesi dari awal sampai akhir. Paling hanya penghargaan mahasiswa terbaik dari tiap spes.

Selesai prosesinya. Bertemu dengan bapak. Kita foto bersama bapak, om dan pakdhe. Sudah.

Kita lalu bersiap kembali. Bukan ke rumah, atau ke kampung. Tapi ke rumah sakit. Karena ibu pasti sudah sangat lama menanti kami.

Foto foto, hore hore, bagi bagi bunga bersama kawan kawan??? Tak terpikirkan lagi. Dalam bayangan saya, bagaimana kondisi ibu.

Alhamdulillah... Sampai rumah sakit. Ibu menyambut dengan wajah penuh gembira, "anaknya sudah diwisuda..." Ada kebanggaan terpancar di aura wajahnya. Saya lagi lagi hanya bisa menahan air mata ini supaya tidak jatuh. "Selamat ya dek...." Cium pipi kanan cium pipi kiri. Saya tau beliau menangis tertahan. Entah sedih, bahagia, senang. Pasti bercampur aduk.

Yang pasti, momen wisuda saya itu...Tidak terlalu saya kenang, dan tidak ingin saya ingat; hingga saat tertuliskan Artikel ini. Mungkin rasa itu telah sembuh.  Meski selalu kembali hadir tatkala saya teringat satu perkataan yang saya ucapkan untuk menghibur ibu saat saya mau berangkat wisuda adalah "Nanti datang lagi pas wisuda S1 saya ya Bu...."

Dan.... Itu ternyata momen wisuda pertama dan terakhirku saat ibu masih hidup... Beberapa bulan setelahnya, Allah memanggil ibu.

Thats why.. artinya, saya tidak akan pernah dihadiri lagi wisuda saya oleh Ibu saya. Di dunia ini.

Apakah karena ini saya tidak bersemangat lanjut S1? Hehe.. bukan juga sih.

Tapi... Jikalau memang di dunia tidak bisa dihadiri wisuda ku oleh ibu, akankah di akhirat nanti saya bisa diwisuda bersama Bapak juga Ibu? Lalu mendapat pelukan selamat lepas momen sakral wisuda, kemudian kita bisa foto bertiga untuk kita pajang di rumah surga kita?

Semoga hal itu bisa terwujudkan... Allah...

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)