Seberat apapun penyimpangan yang
ada pada kaum muslimin, yakinlah bahwa Allah yang Maha Kuasa mengatur semuanya.
Dalam Surat Yusuf 21, “DanAllah berkuasa terhadap urusannya. Tapi kebanyakan
manusia tiada mengetahuinya. “ Ayat ini sangat penting untuk kita senantiasa
bersandar kepada Allah, bukan kepada kekuatan kita.
Akan selalu ada pembela agama
yang haq ini dengan metode yang benar.Ketahuilah Islam ini telah disempurnakan
oleh Allah. Maka, Islam ini tidak akan pernah habis, tidak akan pernah
dihancurkan oleh Allah. Karena agama ini telah diridhoi oleh Allah.
Kita, kaum muslimin, ingin
bangkit di tengah kepurukan ini. Tapi kita harus melihat sebuah realita yang
ada di tengah kaum muslimin :
Terjadinya perselisihan di
tengah kaum muslimin – Munculnya Kelompok-kelompok
Masing-masing memiliki kelompok,
hal ini membuat sulit bangkit, kaum muslimin terpecah-pecah/terkotak-kotak.
Bahayanya berkelompok/berpartai-partai ini akan membuat seseorang lebih loyal
pada kelompok/partainya, bukan pada Islam. Meskipun, yang menjadi slogan
kelompoknya adalah partai Islam, kelompok dakwah, ataupun partai dakwah. Nah,
jika seandainya terjadi kelompok kelompok antara kaum muslimin, maka semestinya
kita berada pada jamaah (yaitu persatuan). AL hafidz Ibnu Hajar mengatakan maksud
jama’ah, menukilkan maksud jama’ah : pengertian jamaah adalah kelompok kaum
muslimin yang paling besar. Hendaknya kita berada di dalam jama’ah kaum
muslimin. Masuklah di dalamnya; jangan ikut kelompok yang kecil-kecil tersebut.
Muhammad bin Sirin mewasiatkan,
“Wajib bagimu perpegang kepada jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan
manusia dalam kesesatan.” Awal kegentingan terbesar masa sahabat adalah tatkala
ada pembunuhan Utsman. Ada yang mendukung dan tidak mendukung pembunuhan ini.
Hendaklah kita memilih bersatu dengan jama’ah/kelompok terbesar dari kaum
muslimin, bukan dengan kelompok-kelompok kecil. Sekarang banyak
kelompok-kelompok; yang tidak masuk kelompoknya ada di luar mereka, bahkan ada
yang dianggap najis. Maka, jangan masuk kelompok yang demikian. Masuklah ke
dalam kelompok yang terbesar; jama’ah. Ulama lain mengatakan bahwa yang
dimaksud Jama’ah adalah para sahabat. Maka, semestinya kita harus mengikuti
pemahaman jama’ah, yaitu para sahabat. Ulama lain mengatakan bahwa Jama’ah
adalah ahli ilmu. Jadi tatkala terjadi perselisihan/pengkotak kotakan kaum
muslimin, kita harus melihat “Ulama ikut mana nih?”. Jadi bukan kembali kepada
pendapat sendiri, atau keputusan partai/kelompok/organisasi; melainkan kembali
kepada Allah dan RasulNya. Cara kembali kepada Allah dan Rasul, adalah dengan
mengikuti bagaimana para ulama.
Pengertian yang paling benar : kembali kepada jama’ahnya
kaum muslimin, yang ditetapkan sebagai Amir (pemimpin kaum muslimin) di suatu
negeri. Karena mereka yang memiliki wewenang/kekuasaan. Jadi jika kaum muslimin
sudah sepakat memilih presiden, maka ya itu yang menjadi amir kita. Hal ini
dicontohkan dengan bagaimana penentuan awal masuk bulan Ramadhan : kita ikut
apa yang ditetapkan pemimpin, bukan ikut pendapat partai/kelompok kita. Ini
tujuannya adalah mengumpulkan manusia, dan menyatukan shaf mereka, serta
menjauhkan mereka dari apa yang mencerai-beraikan mereka, dari
pendapat-pendapat personal/individual. Syariat Islam tidak menganggap pendapat
individu, meskipun ia merasa benar dalam pandangannya dalam ibadah-ibadah yang
dikerjakan secara bersama-sama, seperti : puasa, hari raya, sholat jama’ah.
Begitulah yang terjadi dalam sholat jama’ah, meskipun pendapat mereka tentang
beberapa hal berbeda, namun tetap ikut imam tatkala sudah melaksanakan sholat
jama’ah (Ibadah yang dikerjakan bersama).
Karena tujuan syariat Islam
adalah mengumpulkan manusia, tidak mencerai beraikan. Maka, bertaqwalah kepada
Allah, apapun kelompok atau organisasi Anda; ikuti keputusan pemerintah, jangan
mencerai beraikan kaum muslimin.
Amir yang dimaksud di sini juga
bukanlah maksudnya pemimpin organisasi atau kelompok; melainkan maksudnya
adalah Amir suatu negeri. INi karena amir kelompok tidak memiliki kekuasaan
secara umum, semisal mencabut perda, dsb.
Jadi : solusi masalah pertama
adalah kembali menyatukan diri kepada jama’ah, yaitu yang dipimpin oleh
Amir/pemimpin/presiden di suatu negeri.
Perselisihan kaum muslimin
dalam 1. mengambil sumber Ilmu (manhajut Talaqqi) – yang dijadikan sebagai
sandaran hukum - dan 2. dalam memahami
Al Qur’an dan Sunnah.
Ini masalah ke-2 yang menghambat
bangkitnya kaum muslimin. Maka, apa jawabannya? Sandaran yang kita gunakan
adalah Qur’an dan Sunnah. BIasakan jika terjadi perselisihan (terutama perkara
agama), katakan ‘kembalikan kepada Qur’an dan Sunnah’ yang harus menjadi
hakimnya. Bukan dikembalikan kepada akal, perasaan, pendapat. Misal : malam
tahun baru, “Daripada pemuda rebut main petasan, mending kita kumpulkan di
masjid, kita adakan tabligh akbar, ceramah agama, untuk memperingati tahun
baru”. Ini sandaran hukumnya adalah kata “Mendingan”. Jadi, semestinya harus
ada sandarannya. Memperingati tahun baru itu tidak ada satupun dalilnya.
BIarkan mereka yang memperingati; kita ya tidak perlu ikut-ikutan. Jangan dengan
pendapat kita, pendapat nenek moyang, kebiasaan,dll.
“Kamu tidak akan ditanya oleh
Allah apakah kita menyelisihi orang seluruh dunia atau tidak; tapi kita akan
ditanya apa kita menyelisihi Rasul atau tidak?” Rasul pernah bersabda, bahwa
jika terjadi perselisihan di antara kaum muslimin, yang harus dilakukan adalah
berpegang teguh pada sunnahnya. Jadi memang sudah dikabarkan oleh Rasul tentang
perselisihan ini; tapi Rasul juga memberikan obatnya : yaitu kembali pada
Sunnah. Kekacauan perselisihan itu adalah karena adanya bid’ah. Maka aneh
tatkala ada orang yang mengajak umat menjauhi bid’ah malah dikira menjadi
pemecah belah. Justru orang yang memperingatkan manusia dari bid’ah dan
mengajak kepada Sunnah adalah ingin mengingatkan obat atas perselisihan ini.
Setiap bid’ah itu sesat. Jadi tidak ada bid’ah yang baik; mana ada “sesat” yang
baik, bukan? Gigitlah Sunnah dengan gigi geraham! Benar-benar kuat, jangan
sampai lepas.
[Resume Kajian “Mengapa Memilih
Manhaj Salaf” oleh Ust Ahmad Zainuddin]
----lanjut bab ke-5, pembahasan
utama buku ini.
Post a Comment