curhatibu.com

Mengapa Memilih Manhaj Salaf – Part 9



Seberat apapun penyimpangan yang ada pada kaum muslimin, yakinlah bahwa Allah yang Maha Kuasa mengatur semuanya. Dalam Surat Yusuf 21, “DanAllah berkuasa terhadap urusannya. Tapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. “ Ayat ini sangat penting untuk kita senantiasa bersandar kepada Allah, bukan kepada kekuatan kita.

Akan selalu ada pembela agama yang haq ini dengan metode yang benar.Ketahuilah Islam ini telah disempurnakan oleh Allah. Maka, Islam ini tidak akan pernah habis, tidak akan pernah dihancurkan oleh Allah. Karena agama ini telah diridhoi oleh Allah.

Kita, kaum muslimin, ingin bangkit di tengah kepurukan ini. Tapi kita harus melihat sebuah realita yang ada di tengah kaum muslimin :

Terjadinya perselisihan di tengah kaum muslimin – Munculnya Kelompok-kelompok
Masing-masing memiliki kelompok, hal ini membuat sulit bangkit, kaum muslimin terpecah-pecah/terkotak-kotak. Bahayanya berkelompok/berpartai-partai ini akan membuat seseorang lebih loyal pada kelompok/partainya, bukan pada Islam. Meskipun, yang menjadi slogan kelompoknya adalah partai Islam, kelompok dakwah, ataupun partai dakwah. Nah, jika seandainya terjadi kelompok kelompok antara kaum muslimin, maka semestinya kita berada pada jamaah (yaitu persatuan). AL hafidz Ibnu Hajar mengatakan maksud jama’ah, menukilkan maksud jama’ah : pengertian jamaah adalah kelompok kaum muslimin yang paling besar. Hendaknya kita berada di dalam jama’ah kaum muslimin. Masuklah di dalamnya; jangan ikut kelompok yang kecil-kecil tersebut.

Muhammad bin Sirin mewasiatkan, “Wajib bagimu perpegang kepada jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan manusia dalam kesesatan.” Awal kegentingan terbesar masa sahabat adalah tatkala ada pembunuhan Utsman. Ada yang mendukung dan tidak mendukung pembunuhan ini. Hendaklah kita memilih bersatu dengan jama’ah/kelompok terbesar dari kaum muslimin, bukan dengan kelompok-kelompok kecil. Sekarang banyak kelompok-kelompok; yang tidak masuk kelompoknya ada di luar mereka, bahkan ada yang dianggap najis. Maka, jangan masuk kelompok yang demikian. Masuklah ke dalam kelompok yang terbesar; jama’ah. Ulama lain mengatakan bahwa yang dimaksud Jama’ah adalah para sahabat. Maka, semestinya kita harus mengikuti pemahaman jama’ah, yaitu para sahabat. Ulama lain mengatakan bahwa Jama’ah adalah ahli ilmu. Jadi tatkala terjadi perselisihan/pengkotak kotakan kaum muslimin, kita harus melihat “Ulama ikut mana nih?”. Jadi bukan kembali kepada pendapat sendiri, atau keputusan partai/kelompok/organisasi; melainkan kembali kepada Allah dan RasulNya. Cara kembali kepada Allah dan Rasul, adalah dengan mengikuti bagaimana para ulama.

Pengertian yang paling benar : kembali kepada jama’ahnya kaum muslimin, yang ditetapkan sebagai Amir (pemimpin kaum muslimin) di suatu negeri. Karena mereka yang memiliki wewenang/kekuasaan. Jadi jika kaum muslimin sudah sepakat memilih presiden, maka ya itu yang menjadi amir kita. Hal ini dicontohkan dengan bagaimana penentuan awal masuk bulan Ramadhan : kita ikut apa yang ditetapkan pemimpin, bukan ikut pendapat partai/kelompok kita. Ini tujuannya adalah mengumpulkan manusia, dan menyatukan shaf mereka, serta menjauhkan mereka dari apa yang mencerai-beraikan mereka, dari pendapat-pendapat personal/individual. Syariat Islam tidak menganggap pendapat individu, meskipun ia merasa benar dalam pandangannya dalam ibadah-ibadah yang dikerjakan secara bersama-sama, seperti : puasa, hari raya, sholat jama’ah. Begitulah yang terjadi dalam sholat jama’ah, meskipun pendapat mereka tentang beberapa hal berbeda, namun tetap ikut imam tatkala sudah melaksanakan sholat jama’ah (Ibadah yang dikerjakan bersama).
Karena tujuan syariat Islam adalah mengumpulkan manusia, tidak mencerai beraikan. Maka, bertaqwalah kepada Allah, apapun kelompok atau organisasi Anda; ikuti keputusan pemerintah, jangan mencerai beraikan kaum muslimin.
Amir yang dimaksud di sini juga bukanlah maksudnya pemimpin organisasi atau kelompok; melainkan maksudnya adalah Amir suatu negeri. INi karena amir kelompok tidak memiliki kekuasaan secara umum, semisal mencabut perda, dsb.

Jadi : solusi masalah pertama adalah kembali menyatukan diri kepada jama’ah, yaitu yang dipimpin oleh Amir/pemimpin/presiden di suatu negeri.

Perselisihan kaum muslimin dalam 1. mengambil sumber Ilmu (manhajut Talaqqi) – yang dijadikan sebagai sandaran hukum -  dan 2. dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah.
Ini masalah ke-2 yang menghambat bangkitnya kaum muslimin. Maka, apa jawabannya? Sandaran yang kita gunakan adalah Qur’an dan Sunnah. BIasakan jika terjadi perselisihan (terutama perkara agama), katakan ‘kembalikan kepada Qur’an dan Sunnah’ yang harus menjadi hakimnya. Bukan dikembalikan kepada akal, perasaan, pendapat. Misal : malam tahun baru, “Daripada pemuda rebut main petasan, mending kita kumpulkan di masjid, kita adakan tabligh akbar, ceramah agama, untuk memperingati tahun baru”. Ini sandaran hukumnya adalah kata “Mendingan”. Jadi, semestinya harus ada sandarannya. Memperingati tahun baru itu tidak ada satupun dalilnya. BIarkan mereka yang memperingati; kita ya tidak perlu ikut-ikutan. Jangan dengan pendapat kita, pendapat nenek moyang, kebiasaan,dll.

“Kamu tidak akan ditanya oleh Allah apakah kita menyelisihi orang seluruh dunia atau tidak; tapi kita akan ditanya apa kita menyelisihi Rasul atau tidak?” Rasul pernah bersabda, bahwa jika terjadi perselisihan di antara kaum muslimin, yang harus dilakukan adalah berpegang teguh pada sunnahnya. Jadi memang sudah dikabarkan oleh Rasul tentang perselisihan ini; tapi Rasul juga memberikan obatnya : yaitu kembali pada Sunnah. Kekacauan perselisihan itu adalah karena adanya bid’ah. Maka aneh tatkala ada orang yang mengajak umat menjauhi bid’ah malah dikira menjadi pemecah belah. Justru orang yang memperingatkan manusia dari bid’ah dan mengajak kepada Sunnah adalah ingin mengingatkan obat atas perselisihan ini. Setiap bid’ah itu sesat. Jadi tidak ada bid’ah yang baik; mana ada “sesat” yang baik, bukan? Gigitlah Sunnah dengan gigi geraham! Benar-benar kuat, jangan sampai lepas.

[Resume Kajian “Mengapa Memilih Manhaj Salaf” oleh Ust Ahmad Zainuddin]

----lanjut bab ke-5, pembahasan utama buku ini. 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)