Pembahasan ini adalah yang sangat
penting, karena perkara ini adalah perkara yang sangat mulia : yaitu tentang
Dakwah, sebuah tugas yang dibebankan Allah kepada manusia pilihan Allah – yaitu
Para Nabi dan Rasul. Dakwah adalah jalan paling mulia di permukaan bumi ini.
Siapa lagi yang lebih baik perkataannya ketimbang orang yang mengajak manusia
kembali kepada Allah, berharap kepada Allah, meminta pertolongan Allah, dst.
Cukup kemuliaan pada jalan dakwah ini, bahwa ia adalah jalan para Nabi dan
Rasul. Seluruh Nabi dan Rasul dikirim kepada manusia untuk berdakwah
[menyampaikan risalah yang mereka terima dari Allah]. Maka orang yang berjalan
di atas jalan ini, sungguh ia berjalan di atas jalannya para rasul, pewaris
para Rasul.
Semua orang yang berilmu, yang di
dalam dirinya tertanam keikhlasan, dia pasti ingin menjadikan sebagian waktunya
untuk berdakwah; menjadikan ungkapan lisannya untuk berdakwa h – sebatas apa
yang dimiliki. Dan ini menjadi hal yang sangat baik – SEANDAINYA dijalankan
dengan hal yang baik juga. Karena keikhlasan SAJA tidaklah cukup. Maka, DAKWAH
adalah kebaikan – jika dikerjakan dengan cara kebaikan, maka ia ada di atas
kebaikan. Jika salah satunya hilang (niat atau cara) maka akan menjadikan
justru kemudharatan bagi dakwah itu sendiri.
Allah berfirman dalam Surat Al
A’raf 164, Berkata sebahagian umat dari manusia kepada orang orang yang
berdakwah kepada manusia – kepada orang dzalim, kuffar, ‘mengapa kalian masih
memberi peringatan kepada kaum yang sudah jelas Allah hancurkan, atau jelas
akan mendapat adzab pedih dari Allah’..maka berkata orang yang berjalan di atas
jalan dakwah, “Untuk mendapatkan udzur di sisi Rabb kalian, dan mudah-mudahan
mereka bertaqwa. “
Imam As Sa’di membawakan tafsir
ayat ini, inilah tujuan yang paling utama di dalam mengingkari kemunkaran, yang
pertama : agar dakwah tersebut sebagai udzur, yang kedua : menjadikan hujjah
itu berdiri atas sesuatu yang diperintahkan/dilarang, yang ketiga : agar mudah-mudahan
Allah memberikan hidayah kepada yang didakwahi sehingga ia bisa beramal kepada
apa yang diperintah, menjauhi yang dilarang.
Apa yang dimaksud “Sebagai UDZUR”? Untuk siapa? Ya, udzur
untuk orang-orang yang berdakwah – yang telah mengetahui kebenaran. Karena
sudah merupakan ketetapan dalam syariat Islam bahwa orang yang berilmu dan
mengetahui kebenaran wajib menyampaikan. Lebih-lebih tatkala ia ditanya tentang
suatu ilmu, yang dia ketahui, maka tidak boleh sedikitpun ia menyembunyikan
ilmu tersebut. Jangan sembunyikan risalah Allah. Kewajiban seorang yang punya
ilmu adalah memberitahukan kepada manusia. Maka, menyampaikan ilmu dengan
berdakwah itu menjadi udzur baginya, “Ya Rabb, aku sudah menyampaikan ilmu
itu!”. Ini tujuan dakwah pertama : melepaskan tanggung jawab yang Allah
bebankan kepada setiap siapa yang mengetahui kebenaran. Sesungguhnya, orang
yang berdakwah yang pertama kali mendapat faedah dari dakwahnya, karena itulah
yang akan dibawanya menghadap kepada Allah, untuk menyelamatkan dirinya. Jika
ia yakin hal itu, maka niscaya ia tidak akan pernah bosan berdakwah, apapun
yang terjadi.
Yang KEDUA : IQOMATUL HUJJAH – untuk menegakkan Hujjah. Salah satu maksud
diutus nabi rasul adalah menegakkan hujjah; sehingga orang yang ikut warisan
ini maka ia harus juga menegakkan hujjah. Kita sampaikan kebenaran, supaya
orang tau mana yang benar, mana yang bathil. Kita sampaikan supaya mereka
mengetahui mana yang benar, mana yang salah.
Yang KETIGA : Mudah-Mudahan
orang yang didakwahi bisa bertaqwa. Hati yang didakwahi berada dalam genggaman
Allah. Allah yang paling tau siapa yang layak mendapat hidayah, dan siapa yang
tidak layak mendapat hidayah. Itu ada pada kuasa Allah. Titik kewajiban kita
hanya sampai pada kata “MUDAH-MUDAHAN”. Sehingga da’i tidak boleh menuntut
orang “1 pertemuan, harus sudah bisa menerima kebenaran.” Tidak.
Adalah salah saat kita memulai
dakwah, kita memiliki planning “Orang ini harus berubah, orang ini harus
menjadi beriman.”. Bukan itu tugas nabi dan Rasul. Tugas Nabi dan Rasul hanyalah
menyampaikan risalah yang jelas; begitu pula bagi orang-orang yang berdakwah,
yang pastinya jenjangnya jauh lebih rendah dibandingkan Rasulullah. Kepada
Rasul, Allah berfirman, “Engkau tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang
kau cintai. Tetapi hanyalah Allah yang akan memberi hidayah kepada yang Dia
cintai.” Bukankah demikian pelajaran Paman Nabi yang tidak juga bisa beriman
kepada Allah.
Dalam Surat Al An’am 69 Allah
berfirman, “Dan tidaklah merupakan dosa bagi orang bertaqwa - akan tetapi berikan
peringatan mudah-mudahan
manusia bertaqwa.” As Sa’di menafsirkan ayat ini, “Di dalam ayat ini terdapat
dalil yang sangat jelas, bahwasanya yang harus dilakukan adalah bagaimana ia
harus menggunakan kalimat kalimat yang membuat mereka mudah bertaqwa” – maksudnya
: memilih redaksi kalimat, cara kita yang harus tepat, kelembutan dalam
berdakwah, senyum dan bukan tidak bersahabat, dst. Jangan terpancing emosi
manusia dalam berdakwah. Setan pandai menyelewengkan niatan dakwah kita : kita
ingin nasehat yang keluar, tapi emosi yang keluar; sehingga kata-kata yang
keluar penuh emosi.
COntoh “Anda selama ini malas
mengaji!” -Ã
diganti “Mari rajin-rajin mengaji…”
Contoh “Pekerjaan kalian selama
ini telah menyelisihi kebenaran!” Ã
gantilah, “Saudaraku, sepengetahuan saya pekerjaan demikian tidak ada di dalam
Islam”, dst.
Pakai kata-kata yang akan lebih
memudahkan orang yang menerimanya menjadi bertaqwa.
Allah tatkala memerintahkan Musa
– Harun berdakwah kepada Fir’aun, “Ucapkan perkataan lembut kepada Fir’aun, mudah-mudahan
ia bertaqwa..” Allah masih memerintahkan Nabi Musa berlemah lembut, padahal
Allah tau bahwa Fir’aun akan mati dalam keadaan kafir. Apakah kita lebih mulia
dari Nabi Musa? Apakah saudara kita lebih kejam daripada Fir’aun?
Dalam dakwah juga harus didahului dari memperbaiki diri sendiri .
ReplyDeletedakwah diri sendiri
ilmu, amal, dakwah, lalu sabar
ReplyDeleteImplementasi dari ilmu adlaah tindakan ,,kalo bisa berdakwah :)
ReplyDelete