curhatibu.com

Ahlussunnah Dalam Menyikapi Pemimpin - Resume Kajian Ust. Riyadh Bin Badr Bajrey

Salah satu dasar-dasar aqidah yang wajib diterima oleh setiap kaum muslimin, dan harus diyakini dengan konsep yang benar adalah bahwa Allah memiliki 2 jenis takdir : takdir yang Allah ijinkan terjadi atas alam semesta dan apa-apa yang Allah inginkan kepada hambaNya untuk terjadi (misal : Allah ingin hambaNya beriman, bersyukur kepada Allah, dll). Maka, sangat mungkin terjadi Allah menjadikan sesuatu di alam semesta sekalipun Allah tidak meridhoiNya, misal adanya orang-orang kafir di muka bumi. 

Di antara qodarullah lainnya : dijadikan pemimpin sesuai dengan kaum yang dipimpinnya. Maknanya : jika buruk mental suatu kaum, akan ada pada mereka hanya penguasa yang serakah kepada kaum. Inilah keadilah Allah di atas alam semestanya. 

Allah berfirman, "Dan demikianlah kami berikan kuasa atas orang yang dzalim, atas orang orang yang dzalim"

Jika kita melihat masa Umar dan Abu Bakar, jangan lihat pemimpinnya. Tapi lihatlah bagaiana rakyatnya : hasil didikan Rasulullah. Pantaslah di antara mereka pemimpin sekelas Abu Bakar dan Umar. 

Ingatkah perbincangan, yang mana Ali menanggapi khawarij, "Karena ketika Umar memimpin, rakyatnya adalah sekualitas ku. Sedang kala aku memimpin, rakyatnya adalah manusia sepertimu!"

Abdul Malik mengatakan kepada rakyat yang protes akan kepemimpinannya, "Jadikan diri kalian sebagaimana level rakyatnya Abu Bakar dan Umar, sehingga pantaslah bagi kami menjadi sekualitas Abu Bakar dan Umar?"

Ini bentuk takdir Allah. Jika memang apa yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan kita, PANTASKAH kita mencela apa yang telah Allah takdirkan? Kemiskinan, kelaparan, dll --> sabar, meminta kekuatan kepada Allah, berdoa supaya musibah ini menjadi penghapus dosa dosa kita sebelumnya. 

Kita beriman kepada takdir Allah, tapi tidak boleh berhujjah dengan takdir atas kesalahan/tindakan salah kita. Yang ada, kita harus berpegang teguh dengan aturan syariat. 

BAGAIMANA MANHAJ AHLUSSUNNAH dalam MENYIKAPI PEMERINTAH yang ada - Sebagaimana telah menjadi kesepakatan para sahabat? 

Pembahasan ini senantiasa diletakkan di buku buku aqidah, bukan perihal fiqih. 
Namun, alangkah banyaknya terjadi salah penyikapan terkait penyikapan hal ini. Sehingga penting sekali kita pelajari bab ini. 

Allah berfirman, "Dan berpegang teguhlah kalian semua kepada talinya Allah, dan janganlah kalian berpecah belah". Kalian semua harus tetap berpegang teguh terhadap ketaatan dan jamaah muslimin (yaitu mentaati penguasa yang ada). Ini tafsir yang datang dari sahabat. Diriwayatkah oleh Imam Muslim, dari sanad Abu Hurairah, "Sesungguhnya Allah meridhoi 3 perkara dan membenci 3 perkara : dan agar kalian berpegang teguh pada tali Allah, dan jangan kalian berpecah belah".

Diriwayatkan Imam Ahmad, Rasulullah bersabda, "Ada 3 sifat yang tidaklah hati seorang beriman akan membenci 3 hal ini : mengikhlaskan amal Lillahi ta'ala, saling menasehati para penguasa, bertahan dengan jamaah (membenci perpecahan dan orang2 yang menyeru kepada perpecahan - di bawah pemimpin yang sah)

Nasehat : bermakna ketika seseorang menjahit bajunya, itu bermakna ia menasehati bajunya. Maka nasehat itu ditujukan memperbaiki kekurangan pada orang lain. Mereka punya hak untuk kita sampaikan hal ini kepada mereka, guna menutup keburukan, dengan menyampaikan kebaikan, dan menahan diri kita untuk menyebarkan aib yang ada padanya.

Nasehati para penguasa : jika memang ada peluang untuk menasehati penguasa, sampaikanlah hal itu dengan adab yang baik dan bukan di depan umum. Namun jika tidak ada peluang, maka tidak boleh kita membenarkan diri membongkar aib mereka kepada kaum muslimin, sehingga menggerakkan mereka membenci penguasa, yang kemudian menjadikan kita membenci apa yang Allah takdirkan atasnya. 

Bertahan bersama jamaah : yaitu yang berada di bawah pemimpin yang sah dan diakui. Kalaupun kepemimpinan tersebut didapat dari metode yang tidak diperbolehkan (misal kudeta, pertumpahan darah, demokrasi, dll), tetap jika pemimpin tersebut sudah sampai pada tampuk kekuasaannya, wajib bagi kita menghormatinya, dan tidak mempedulikan bagaimana ia sampai pada titik itu. 

Ibnu Taimiyyah ( Ahmad ibnu Abdul Halim) berkata dalam majmu' fatawa terkait hadits di atas, "3 sifat ini mengumpulkan fondasi2 agama dan kaidah2nya, dan menyimpulkan hak hak yang harus dipenuhi bagi Allah (ikhlash), dan juga bagi para hamba (memberi hak penguasa untuk didengar, hak rakyat untuk digauli, dan bertahan berjamaah tidak berpecah belah). Dengan 3 hal itu sungguh akan teratur maslahat ukhrawi dan duniawi. "

Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Masaail jaahiliyah mengatakan, "Tidaklah terjadi kerusakan di dalam agama atau dunia seseorang, kecuali disebabkan hilangnya 1 dari 3 sifat tersebut : ikhlas, nasehat kepada penguasa, dan bertahan bersama jamaah yang berada di bawah pemimpin yang sah"

Riwayat Imam Bukhori, dari sanad Hudaifah, "para sahabat biasanya bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan-kebaikan yang akan terjadi, adapun aku biasa bertanya kepada rasulullah tentang keburukan yang terjadi di masa datang karena aku takut terkena keburukan itu. dan diantara nasehat rasul kepada hudaifah adalah agar dia dapat menghindar keburukan, yang salah satunya tetap berpegang teguh pada jamaah kaum muslimin dan para pemimpin yang ada para mereka - jangan memberontak"

Sesungguhnya tangan Allah ada bersama jamaah (yang bertahan pada kepemimpinan yang sah), bukan jamaah yang memecahkan diri dari kepemimpinan yang ada. 

"Persatuan yang terjadi pada umat adalah rahmat Allah, adapun perpecahan adalah adzab" ini hadits yang tepat, datang dari sahabat. Bukan hadits "perbedaan itu rahmat"!

Lima hal yang dipegang teguh oleh para sahabat dan imam tabi'in :
1. bertahan bersama jamaah (menghindari perpecahan)
2. terus mengikuti sunnah yang datang dari rasul (menghindari yang datang bukan dari rasul)
3. menghidupkan masjid 
4. tilawatul quran
5. senantiasa berjihad di jalan Allah dg syarat2 tertentu

Dengan mengkritisi, memberontak kepada pemimpin yang melakukan kemunkaran, maka sungguh jauh lebih besar dampaknya dibanding dengan kemunkaran itu sendiri. Sebagaimana jaman Yazid, pada tahun 63 H, Ahlul Madinah melepaskan baiat untuk taat kepada Yazid. Kekeliruan dilakukan oleh Husein yang keluar memberontak yazid. Para sahabat sudah menahannya untuk tidak keluar dari Madinah. Sehingga harus bertemu dengan syiah, dan terbunuh oleh mereka. [kisahnya..........] Intinya : penduduk madinah melepaskan baiat karena melihat kerusakan2 yang dilakukan oleh Yazid bin Muawiyyah. Sehingga terjadi kerusakan2 di Madinah. Banyak terbunuhnya sahabat, dan keturunan mereka ikut terkena dampak peperangan yang terjadi karena hal ini. 

Rasulullah bersabda, "siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan terhadap penguasa yang ada, maka di hari kiamat ia akan bertemu dengan Allah dengan tanpa hujjah/alasan membenarkan dirinya"

"Siapa yang mati dan tidak memiliki baiat (memberontak penguasa yang ada), maka dia mati dalam kondisi bangkai jahiliyah" - masa jahilyah, masa di mana tidak ada keberaturan, kelompok2 saling bertikai. 

Satu tahun setelah perang Harrah, wanita Madinah 1000 orang melahirkan anak-anak tanpa Ayah. Kerusakan yang terjadi akibat pemberontakan, menimpa juga para wanita ini. Tidaklah suatu kaum memberontak, kecuali kondisi setelahnya lebih buruk dari sebelumnya. PASTI!. Ini memberontak atas takdir Allah. Demikianlah yang terjadi di sejarah Islam dari jaman ke jaman. Tidak sabarnya mereka menghadapi penguasa yang dzolim. Lihat, apakah Irak lebih baik? Libya apakah lebih baik? Syiria apakah lebih baik? Demikian juga di negeri kita sendiri, setelah menjatuhkan pemerintahan dahulu, apakah lebih baik? Dulu ada korupsi, tapi masih di bawah meja. Sekarang? Meja-meja sekaliannya dikorupsi juga. Banyak sekali beredar majalah2 yang tak bermoral, bertambah rusak kaum ini setelah menjatuhkan dan menjelek-jelekkan pemimpinnya. 

Bersabarlah....

Mengapa hukuman pemberontak itu lebih berat, padahal kita tau kaum khawarij ibadahnya luar biasa? Karena ini adalah perkara aqidah - taqdir Allah atas kondisi tersebut. Bukan hanya menerima taqdir yang baik, tapi juga menerima taqdir buruk atas suatu kepemimpinan. Memberontak = tidak menerima taqdir itu. 

Budak manapun yang kabur dari tuannya, maka sholat, puasa dan ibadahnya tidak akan Allah terima sampai ia kembali pada tuannya. Padahal kalau dipikir, apa urusannya ibadah dan kabur dari tuannya. Kenapa sampai demikian? Karena menerima taqdir bahwa dirinya sebagai budak adalah bentuk mengimani taqdir dg baik. Ini rukun iman. JANGAN dulu berbicara amal sholeh, karena aqidahnya belum benar.

Maka berusaha memecahkan jamaah dari pemimpin yang ada adalah bentuk dosa besar. Rasul telah menjelaskan betapa besarnya kemunkaran tersebut, sebagaimana Rasul pun telah mengajarkan bagaimana menyikapi kemunkaran tersebut. 

Riwayat Imam Muslim, rasul bersabda, "sesungguhnya nanti akan terjadi fitnah/perkara baru yang tidak terjadi pada jamanku. Siapa yang datang mencoba memecah umat ini - dari pemerintah yang ada, maka hantam ia dengan pedang". Perhatikan! Bahwa perintah ini datang untuk penguasa, bukan kita kita sebagai rakyat. Karena penguasa yang berkewajiban melakukan hal itu. Jika penguasa tidak melakukannya, kita tidak berhak memaksakan apalagi melakukannya sendiri hal itu. 

Diriwayatkan Imam Bukhori, dari Ibnu Umar, ia berkata, "Aku takut mau mengatakan suatu kalimat, yang akhirnya kalimat ini menyebabkan pertumbahan darah, hingga aku dituntut!". Faedah : kalimat itu penting namun tidak harus disampaikan. Tidaklah suatu hal yang kita ketahui, kemudian kita sampaikan. Jangan. Lebih2 saat masa-masa fitnah/pemberontakan/hukum tidak berjalan, dll. Jangan ikut menjadi tangan-tangan setan yang ikut menyebarkan gosip/kabar yang terjadi. Jangan serta merta mendengar isu/berita tentang penguasa, langsung kita ikut-ikut menyebarkannya. Apalagi yang disampaikan adalah tentang pemerintah yang ada, yang ujungnya menjadikan rakyat memberontak, atau minimal ikut membenci pemerintahan yang ada. 

Rasul mengajarkan bagaimana menyikapi pemimpin, sekaligus mengajarkan kita bagaimana menyikapi orang2 yang tidak mau diatur. 

Semua Imam bersepakat, bahwa setiap penguasa yang sudah duduk di tampuk kekuasaan, entah dengan bagaimana metodenya, harus kita patuhi sebagai pemimpin, kita penuhi hak-haknya sebagai imam. Jika tidak demikian, maka tidak akan pernah ada keberaturan di dunia ini. Pengesahan pernikahan, muamalah, dan aneka hal hanya dapat berjalan jika ada penguasa. Maka, bagaimanapun cara ia sampai kepada tampuk kekuasaan, tetap harus kita taati. Seorang budak-pun yang memimpin - yaitu dg cara pemberontakan - tetap harus kita taati. 

Adapun Hak-Hak para Penguasa dari tinjauan ahlus sunnah, telah dijelaskan rasulullah, dan disampaikan oleh para imam yang datang setelahnya. Telah disepakati sebagai ijma'. 

1. Membaiat - ini merupakan sebuah kewajiban. Angkatlah wakil-wakil kita. Baiat dia yang telah Allah jadikan ia penguasa. Makna Baiat : janji untuk mendengar dan taat, atas perintah baik pribadi maupun perkara banyak orang. Tidak membantah apapun keputusan para penguasa. Mentaatinya itu dalam kondisi berat ataupun ringan. DENGAN SYARAT : Hal yang diperintahkan BUKANLAH perihal yang bertentangan dengan syariat. Bukan kemudian karena maksiat yang dilakukan imam, kita melanggar perintahnya yang tidak bertentangan dengan syariat. Imam Ahmad tidak pernah menyuruh pengikutnya untuk memberontak. Sebagaimana orang tua kita, yang misalnya menyuruh lepas jilbab - tentu tidak boleh kita taati. Tapi, tetap kita tidak boleh berbuat buruk padanya, memberontak apalagi ganti orang tua. Tetap kita hormati, sanjung. Tapi, poin yang bertentangan itu tidak kita taati. Begitulah juga dengan sikap kita dengan pemerintah kita. 

2. Dengar dan Taat, sekalipun pemimpin itu buruk dan fasik, selama yang diperintahkan itu bukanlah perkara maksiat. Ini merupakan perkara ijma, bukanlah perkara ikhtilat/perkara furu yang bisa ditolerir. Sebagian perkata, "Penguasa mana dulu yang ditaati donk?". Jika demikian, maka tidak akan pernah ada yang pantas jadi penguasa. Penguasa satu dikritik ini itu, yang satu dicela ini itu. Bahkan rasul pun perah dituduh berbuat tidak adil. Jika pemerintahan yang dimaksud adalah sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka tak akan pernah ada pemerintah yang benar menurut mereka. Apabila pemerintah memerintahkan perintah yang ada maksiatnya kepada Allah, maka kita harus bantah sama sekali; namun bukan bermakna kita boleh berontak kepada nya, atau kemudian tidak memberikan hak pemimpin (didengar, ditaati, dan ditutup aibnya) hanya karena itu. Diperbolehkan (bukan diwajibkan) untuk memberontak/menjatuhkan pemimpin jika benar-benar melihat sendiri (bukan dengar/gosip) bahwa pemerintah melakukan kekufuran yang nyata (bukan kekufuran yang bisa ditakwil), dan pelaku tau bahwa itu kekufuran (bukan karena ketidaktahuan pemimpin), dan harus dengan kekuatan yang besar/mumpuni/siap untuk memberontak. Inilah yang membuat Rasul 13 tahun bersabar di Mekah. Berkacalah bagaimana Syiria...belum ada kesiapan dari rakyatnya, sehingga yang terjadi adalah fitnah, kerusakan yang sangat-sangat lebih besar. Rasul tidak pernah meraih kekuasaan dengan cara kafir ("yang penting masuk dulu ke pemerintahan, supaya bisa memperbaiki sedikit sedikit"). Rasulpun pernah ditawarin hal itu. Namun Rasul tidak mengambil cara itu. 

Catatan Penting : Resume ini sekedar untuk menyimpan memori ilmu yang saya dapatkan dari kajian ini. Sehingga, silakan menyaksikan langsung dari link berikut untuk langsung mendengarkan ilmu dari Al Ustad. Ini linknya ya..  https://www.youtube.com/watch?v=L7MBeP9FLMA

























Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)