curhatibu.com

Silsilah 65 - Mencerdaskan Mental Anak - Resume Kajian Fiqih Pendidikan Anak bersama Ust Abdullah Zaen


Setiap orang tua pasti menginginkan memiliki putra putri yang cerdas. Bahkan untuk hal itu, tidak sedikit orang tua yang rela mengeluarkan biaya yang besar untuk mengikutkan anaknya kursus/les sana sini, serta memberikan suplemen/sirup untuk mencerdaskan anak. Namun, sayangnya, tidak sedikit orang tua yang mengaitkan kecerdasan hanya dengan urusan akademik (kecerdasan otak). Dikatakan cerdas hanya jika anak mendapat nilai 90 untuk matematika, atau menjadi juara olimpiade sains; meskipun tidak pernah membantu orang tua, atau tidak pernah melaksanakan sholat. 

Padahal ada banyak macam kecerdasan : 

  1. kecerdasan otak : contoh nilai matematika tinggi
  2. kecerdasan emosional : misal saat anak berhasil mengelola emosi amarahnya
  3. kecerdasan spiritual : yaitu kepatuhan hamba kepada Allah, rajin sholat, tanpa disuruh rutin mengaji
  4. kecerdasan mental : inilah yang akan kita bahas lebih jauh pada kajian kali ini. 
Kecerdasan Mental? Apa itu?
Tidak sedikit orang tua yang tidak paham tentang kecerdasan ini, padahal kecerdasan ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kesuksesan sang anak. Di sini kita sering mendapati anak yang saat sekolah meraih rangking 1, namun saat lulus menjadi pengangguran. 

Kecerdasan mental adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi masalah atau kesulitan. Seorang yang bagus kecerdasan mentalnya, tiap ia menghadapi masalah, ia akan tegar, tidak mudah menyerah/jatuh, semangat, tidak minder; ia tidak lari dari masalahnya. Banyak di antara orang dewasa yang lari dari masalah, juga banyak anak kecil yang menangis tatkala menghadapi masalahnya. Dari sinilah kita katakan, bahwa kecerdasan mental sangat dibutuhkan, dari anak-anak sampai dewasa. 

Indikasi Orang yang Mental Cerdas : 
  1. tangguh, gigih, tahan banting, pantang menyerah, 
  2. tidak banyak mengeluh, 
  3. tidak mudah cengeng/tersinggung
  4. daya juang besar
Supaya Anak Memiliki Kecerdasan Mental Tinggi itu butuh proses, ditanamkan dan diasah/dilatih sejak dini; bukan tiba-tiba ada. Nah, ada beberapa tips mengasah kecerdasan mental anak :
  • Bangun kecerdasan mental sejak dini.          
    Ada sebagian penulis mengatakan, bukan hanya ketika lahir, melainkan saat anak berada di dalam kandungan. Bahkan sebagian lagi mengatakan, sejak memilih pasangan. Mengapa? Karena tidak dipungkiri bahwa sifat-sifat anak banyak diwarisi dari orang tuanya, bahkan diwarisi dari kakeknya. Ini pernah terjadi pada jaman nabi.

    Ada seorang peternak onta datang kepada nabi, mengadukan bahwa kulitnya berbeda dengan orang tuanya. Peternak itu curiga istrinya selingkuh. Saat itu nabi pun menanyakan apakah istrinya suka keluar, dsb. Ternyata tidak. Maka nabi memberikan penjelasan yg mudah dicerna, "apakah kamu punya unta? apa saja warnanya? di antara unta ini ada tidak yang beda sendiri warnanya?. Kata penggembala, "ada, satu warnanya abuabu." Nabi bertanya, "Kira-kira darimana itu, padahal induknya tidak ada yang warna demikian?". Kata peternak, "Ya rasul, bisa jadi unta abu abu ini karena dapat gen dari mbah-mbah nya dahulu!"

    Begitu juga tatkala ibu hamil, kondisi mentalnya sangat berpengaruh pada sang anak. Maka haruslah dijaga juga mental si ibu senantiasa bagus.
  • Perlu adanya ketegasan dan disiplin dalam peraturan
    Membiasakan anak disiplin sejak dini. Akan tetapi bukan berarti harus keras dan kasar. Sebagian orang tua belum bisa membedakan disiplin dan tegas, dengan kasar dan keras. Ini berbeda. Ketegasan - kedisiplinan beda dengan kekerasan - kekasaran. Banyak orang tua menyangka, supaya mental kuat, disiplin harus ketat - kelewat satu menit langsung kena hukuman. Hal  ini biasanya justru memunculkan dampak negatif untuk anak. Jika sering dikasarin, dikhawatirkan anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kasar, otoriter, kaku, susah tersenyum. Inilah, yang kita harap adalah ketegasan, namun bukan kasar.

    Beda kasar dan tegas : kasar itu identik dengan kekerasan fisik (baik berupa pukulan atau suara bentakan atau mata melotot), tegas itu tidak mesti suara tinggi; cukup tatapan muka serius - pun bisa dianggap sebagai ketegasan. Contoh : anak minta PS / game. Kita tahu kemudharatan permainan itu, maka saat anak minta, kita katakan TIDAK, setelah MENJELASKAN ALASANNYA MENGAPA TIDAK. Lalu tawarkan alternatif pengganti untuk anak. Nah, setelah orang tua mengatakan tidak, meskipun anak meraung-raung sekalipun, tetap harus katakan TIDAK. Tidak perlu angkat suara cukup katakan tidak. Hal yang penting diperhatikan lagi bahwa Orang tua tidak boleh tidak tega melihat anak menangis tatkala aturan sudah kita tetapkan. Luluhnya orang tua karena tangis anak ini bisa menjadi senjata ampuh untuk dimanfaatkan anak pada keinginan selanjutnya.
  • Latihlah anak agar bisa memilih dan menentukan sendiriMengapa? Karena di sini kita sedang mengajari anak berani bersikap dan menentukan pilihan, sekaligus bersiap menghadapi resiko atas pilihannya. Contoh : anak berprestasi, dapat hadiah boleh memilih mainan yang disuka. Anak diajak ke toko mainan. Anak bingung. Orang tua tugasnya memberikan edukasi kepada anak, pertimbangan/arahan tentang plus minus calon pilihan mainannya nanti. Setelah itu, anak lah yang memutuskan. Jelaskan pula kepada anak bahwa ia harus menanggung resiko plus minus mainan yang telah dipilih, tidak boleh ditukar lagi. Termasuk yang paling penting adalah menentukan sekolah untuk anak. Namun, untuk ini, orang tua perlu menyeleksi dahulu sekolah2 yang bisa dipilih anak.
  • Membangun Motivasi dan Optimisme dalam diri Anak
    Sifat percaya diri yang tidak berlebihan (tidak mengarah pada kesombongan) merupakan sifat yang dianjurkan dalam agama kita, bahkan menjadi sifat yang disukai oleh Allah. Allah suka sifat optimisme, dan tidak suka pesimisme. Kita sebagai orang tua bertugas menyediakan kebutuhan fisik anak (baju, dll). Nah, yang terpenting adalah membangun sifat optimisme pada anak, yang akan berpengaruh besar pada anak dalam mengambil keputusannya sendiri di masa mendatang.

    Anak biasanya saat melakukan sesuatu sudah mengatakan, "Ah, sulit ini!". Di sinilah tugas orang tua, menumbuhkan optimisme anak. Berikan kata-kata positif, "Ayo, nak, coba dulu, tidak sesulit yang kamu bayangkan! Abi umi yakin, kamu pasti bisa, nak! Kamu mampu, kuat!" dan sebagainya. Anak yang sudah mempunyai optimisme tinggi akan menjadi anak yang produktif, dan aktif mengeksplorasi hal-hal yang baru, tidak takut mencoba, dan selalu bersemangat tatkala bertemu tantangan baru.

    Tugas orang tua dalam hal ini memang tidak gampang. Ada anak yang cenderung "minder"an. Bagaimana orang tua harus berupaya keras menghilangkan minder itu, bukan justru menambah rasa minder anak.
  • Latih anak agar sanggup menghadapi kesulitan
    Setiap kehidupan pasti ada kesulitan. Maka, pasti anak-anak kita ke depan akan menghadapi kesulitas-kesulitan. Kesulitan studi, pergaulan dengan kawan, tetangga, masalah kantor, dll. Kita persiapkan anak kita dalam menghadapinya. Kita persiapkan anak memiliki mental tangguh dalam menghadapi tantangan. Contoh : saat anak mendapat PR dari sekolah, jangan langsung kita bantu mengerjakannya. Biarkan anak menyelesaikan tugasnya. Latih ia mandiri menyelesaikan tugasnya. Latih ia untuk tidak mudah tergantung pada orang lain.

    Salah satu cara melatih kemandirian adalah saat anak dimasukkan ke pondok pesantren; anak dipisahkan dari orang tua. Di pesantren, anak akan terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Anak terbiasa merapikan barang-barangnya sendiri. Jika tidak dirinya yang mengerjakan, kerjaannya tidak ada yang membereskan; tidak seperti kalau di rumah. Termasuk juga masalah manajemen keuangan; harus dilatih juga. Misal memberi uang saku 200.000 untuk sebulan - harus cukup. Jika tidak cukup, ya sudah, tidak bisa minta tambahan.
  • Ajarkan anak untuk bangkit dan tetap tegar saat jatuh
    Kegagalan adalah hal yang pasti akan dihadapi seseorang. Tidak mungkin sukses terus. Akan tetapi, saat kegagalan terjadi; anak yang telah tertanam dalam benak untuk tetap bangkit saat gagal, maka ini akan sangat bagus untuk anak - mentalitasnya tinggi. Berbeda dengan sebaliknya. Anak mudah kecewa, dan sulit kembali bangun tatkala jatuh. Orang tualah yang berperan melatih anak - supaya anak mudah kembali bangkit dan tegar menghadapi kegagalan/kesuksesan berikutnya.

    Sarana pengajaran hal ini bisa melalui tadabbur sekeliling. Misal melihat semut yang mengerahkan segenap tenaga demi membawa 1 bulir roti. Tatkala terjatuh, ia segera angkat lagi, lagi dan lagi.
  • Latih anak menganalisa kegagalannya
    Mengapa bisa gagal, mengapa tidak berhasil; kita arahkan bersama untuk menganalisa apa yang salah. Jangan sampai, saat anak gagal, justru kita ejek, kita kata-kata-i, kita cela.
  • Orang tua harus menjadi contoh
    Orang tua cermin sang anak. Jangan sampai kita ingin anak bermental tangguh, namun kita-nya mental krupuk. Jangan tampakkan di hadapan anak saat kita putus asa, takut, lemah, dll. 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)