curhatibu.com

Manajemen Pendidikan Islam - Resume Talkshow

Sudahkah Tepat Porsi Pendidikan Agama di Sekolah Kita? Ada yang merasa porsi nya kurang, ada yang merasa kelebihan porsinya. Bagaimana Sebaiknya, terutama bagi sekolah formal, yang mengacu diknas?

ADA PERBEDAAN Pendapat

Ada ulama Malikiyah (Ibnu Al Aroby) mengatakan pada tahap awal, tidak bagus seorang anak mempelajari dua ilmu atau lebih. Karena konsentrasi seorang anak terfokus pada satu hal saja. Metode yang dilakukan adalah metode talaqqi. Beliau membuat jenjang pendidikan, di tahap awal adalah memahami bahasa Arab dengan baik, kemudian baru alquran. Mengapa? Karena dengan ilmu alat (bahasa alquran), anak akan paham dengan apa yang dibaca (di alquran, dan lainlain). Bahkan ada ulama yang tidak memperbolehkan anak mempelajari ilmu hadits (atau yang lain) sebelum menghafal alquran. 

Ada ulama lain, seperti Ibnu Khaldun, berpendapat tidak masalah mempelajari satu, dua atau lebih ilmu, selama tidak terlalu menjadi beban anaknya. 

Menghadapi Pendidikan Islam Hari ini di sekolah FORMAL?

Saat ini, banyak sekali sekolah yang menerapkan Islam juga, misalnya Sekolah Islam Terpadu. Memiliki orientasi : anak pintar agama serta jenius dalam ilmu duniawi. Pertanyaannya : adakah dalam sejarah, ilmuwan/ulama dahulu yang demikian/yang benar-benar pakar dalam ilmu agama dan sekaligus ilmu dunia? Saya bilang masih belum ada. Imam Nawawi saja pernah menjelaskan tentang perjalanan pencarian ilmu beliau, yaitu tatkala beliau bergerak mempelajari ilmu kedokteran, kata beliau, "Tertutup gelap! Maka kutinggalkan ilmu ini, ku kembali ke ilmu syar'i!"

Jika di Arab, sekolah umum ya umum, syar'i ya syar'i. Maka suatu yang menakjubkan jika di Indonesia bisa memunculkan perpaduan ini. Kita lihat pakar ilmu science yang pakar juga di ilmu agama? Belum ada. Maka, spesialisasi adalah merupakan hal yang lazim/keniscayaan.

Ilmu syar'i dibutuhkan oleh orang-orang yang jenius. Hal ini karena permasalahan dunia itu sangat kompleks, sehingga butuh orang jenius yang paham dan dituntut mampu menjelaskan permasalahan tersebut sesuai syariah Allah. 

Ilmu Syar'i terlalu banyak, ilmu dunia pun terlalu banyak. Maka, ya harus ada spesialisasi. Siapa yang mau khusus memahami quran, hadits, fiqih, dan yang lain secara terspesialisasi. Itulah mengapa kita tidak boleh membebankan sekian banyak ilmu di awal pembelajaran, apalagi untuk anak-anak. Mereka akan kelelahan! Bahkan Allah kan tidak mewajibkan anak untuk harus menguasai sekian banyak ilmu. Terkecuali sebagian anak yang "tidak suka bermain", bisa kita arahkan untuk lebih intens belajar. Bukankah tidak semua sahabat hafal quran, hafal hadits ini dan itu? Demikianlah tatanan masyarakat sejak dahulu. 

Kalaupun kita ingin di sekolah formal dimasukkan ke dalamnya materi Islam, jangan berbentuk materi langsung. Namun cobalah masukkan ke dalamnya berupa ilmu syari secara 'tersembunyi'. Contoh: ilmu hitung kita masuki contoh di dalamnya berupa ilmu faroid/waris. Jika pun tidak bisa, kita masukkan materi Islam ke dalam kepribadian guru-nya. Sehingga guru pun bisa mendekatkan anak kepada Allah Swt, sekalipun bukan mengajarkan materi agama Islam. 

Di Saudi, anak kelas 1-6 cuma belajar sampai dhuhur. Dan tidak ada ujian sama sekali. Ini menyesuaikan kondisi anak. 

Sekolah ISLAM ingin Diakui UNGGUL di sisi ISLAM dan juga UMUM sampai Internasional?
Misalnya kewajiban bahasa indonesia, inggris, dan arab sejak anak kelas 1. 

Menurut saya, secara praktek, saya lebih condong kepada pendapat Ibnu Al Aroby. Satu per satu. Memang ada orang-orang yang ahli aneka bahasa, namun tidak bisa memaksakan anak menguasai aneka bahasa. Contoh anak saya : dahulu waktu di arab, lalu pindah indonesia; tidak bisa ngomong bahasa indonesia. Lalu beberapa tahun kemudian, ia hanya bisa bahasa indonesia dan tidak bisa sama sekali bahasa arab. Maka, untuk anak seusia sekolah dasar ini sebaiknya mempelajari bahasa yang memang dibutuhkan. 

Rasul memperintahkan Zaid bin Tsabit belajar bahasa lain; bukan beliau sendiri yang mempelajarinya. 

Sudahkah Tepat Jika Kita Menetapkan Target-Target Tertentu pada Anak, selain dari apa yang ditetapkan pemerintah, ditambah lagi target tertentu dari Sekolah IT?

Kita tanya, "Guru-guru-nya mampu atau tidak?". Ya, hadapilah kenyataan. Boleh kita bermimpi, namun alangkah baiknya kita membaca sejarah; sehingga kita tahu bagaimana semestinya. Kita juga perlu paham apa yang dimaksud sukses dalam hidup? apakah menghafal sekian ayat plus ahli matematika, dan seterusnya? Inilah kita perlu diskusikan lebih lanjut. Hanya khawatir jika terlalu berlebihan, hasilnya malah NOL. 

Inilah pentingnya : Ibroh, kita berkaca pada para pakar. Untuk kita contoh bagaimana step stepnya. Ada ulama sukses bidang science, tidak ahli di bidang agama; hanya cukup ia bisa 'hidup'. Inilah yang kita perlukan. Jangan menuntut anak ahli science dan ahli agama sekaligus.

TENAGA PENDIDIK

Kita mengajarkan anak makan dengan tangan kanan, dst; namun melihat gurunya makan dengan tangan kiri. Termasuk dalam hal spesialisasi. Dapat guru bagus matematika, tapi tidak bisa mengajar. Guru bagus materinya, bagus ngajarnya; namun bukan Islam. Guru umum bagus, tapi agama nya sangat kurang. Ini permasalahan yang terjadi. Bagaimana kriteria pendidik yang tepat menurut Antum?

Salah seorang khalifah ketika mengutus anaknya kepada salah seorang ulama, ia mengatakan kepada guru tersebut, "Perbaiki dirimu, karena yang pertama sekali dilihat anak tersebut adalah Anda!" Di mata anak, guru adalah sosok contoh bagi mereka. Anak akan berusaha sama seperti gurunya. Bahkan terbawa tanpa sadar. Maka seseorang itu agamanya tergantung dengan temannya/gurunya, yang dianggap memiliki sosok ideal. Orang tua yang mengutus anak ke sekolah harus memperhatikan gurunya.

Sekolah Islam yang akan merekrut guru, yang pertama kali harus diperhatikan adalah suluk dan akhlaknya. Jika akhlaknya bagus, akan berpengaruh pada anak. 


Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)