curhatibu.com

Ibu Rumah Tangga dan Ibu Bekerja

Saya suka sedih jika ada beredar status atau tulisan membandingkan mana yang lebih baik antara wanita karier dan ibu rumah tangga (fulltime).

Sebagian besar tulisan pasti ujungnya memojokkan salah satu pihak. Jika yang menulis adalah ibu rumah tangga, pasti di akhir akan terasa menyalahkan ibu bekerja. Alasannya beragam; mulai dari mengapa rela menitipkan anak pada pembantu, mengapa tidak memilih surga di rumah saja, mengapa harus ikut bekerja, tidak mensyukuri apa yang telah diberikan suami, dan seterusnya. Jika yang menulis adalah ibu bekerja, biasanya di akhir pun terasa memojokkan ibu rumah tangga. Alasannya karena para ibu rumah tangga sering nyinyir atas pilihan mereka, atau karena alasan pribadi yang memang harus tetap bekerja, rasa iri tidak bisa menjadi ibu rumah tangga yang di rumah saja, rasa iri bisa hanya di rumah menemani anak, dan sebagainya.
Jika kita pernah menjalani kedua peran ini masing-masing, mungkin bisa merasakan bagaimana efek kedua jenis tulisan itu secara ‘nyata’.
Saat bekerja dulu, perasaan –perasaan itu kerap hadir. Keinginan menemani anak di rumah, harapan bisa berada di tempat terbaik sebagai wanita – rumah, bisa meraih surga dari rumah, tidak perlu repot nitip anak ke sana sini, tidak perlu ribet mencari ART baru, tidak perlu khawatir kondisi anak saat ditinggalkan; senantiasa hadir di benak. Namun ketika keinginan itu belum bisa terwujud, jujur saja memang sebagai ibu bekerja sangat butuh motivasi, butuh penyemangat, butuh energi tambahan supaya mereka tetap bisa optimal di tempat kerja, dan tetap bisa mengurus rumah, anak dan suami selagi pun masih lelah tatkala pulang kerja di malam hari nya. Sungguh butuh semangat. Bukan nyinyir-an.
Bukan, bukan mereka tak ingin berada di sebaik tempat dan peran – rumah. Sangat ingin. Namun kondisi (terkadang) yang memaksa. Ada wanita yang ‘terjebak’ ikatan wajib kerja di suatu instansi. Tidak bisa keluar sampai membayar denda yang juga tidak sedikit. Masih berupaya mengumpulkan, atau masih belum ada dana untuk dikumpulkan. Ada juga wanita yang memang ‘mau tidak mau’ harus bekerja. Mereka, ibu yang sekaligus tulang punggung keluarga. Suami tak lagi bisa memberi nafkah karena suatu hal, sedang anak-anak tetap butuh makan dan pendidikan. Ada juga, wanita yang memang ‘wajib’ kerja demi kemaslahatan yang lebih besar. Mereka, wanita yang bekerja di bidang kedokteran, misalnya sebagai dokter kandungan, bidan, perawat; wanita yang bekerja di bidang pendidikan, misalnya guru TK, guru SD, bahkan dosen atau juru dakwah yang kudu menyampaikan ilmunya kepada kaum hawa.
Semangat, mereka butuh semangat. Berilah mereka semangat.
Lain pihak..saat berada di rumah, menjadi ibu rumah tangga, fulltime, tanpa perlu bekerja keluar rumah; mereka pun butuh semangat.
Apalagi jika sebelumnya adalah ibu bekerja. Terbiasa menjadi ibu bekerja, terbiasa beroleh gajian bulanan, terbiasa sering keluar dan bertemu kawan kawan, membuat kadang kondisi terasa berat di awal. Dua puluh empat jam di rumah saja. Rutinitas sama setiap harinya. Yang ditemui pun tidak banyak variasinya. Berkutat dengan urusan rumah tangga, merapikan rumah yang tak pernah rapi, memasak makanan setiap hari, mencuci pakaian yang menumpuk silih berganti, menemani anak bermain meski mata sudah tinggal sekian watt. Sekarang setiap bulan hanya menunggu dan harus mencukupkan diri dari apa yang diberi oleh suami saja. Mengatur kembali urusan keuangan supaya cukup kebutuhan bulanan. Mengontrol kembali keinginan dan hawa nafsu pribadi atas sesuatu hal. Bersusah payah berjuang menghilangkan kejenuhan yang sungguh terkadang lebih parah ketimbang tatkala bekerja. Berjuang mengatur keikhlasan hati karena tak lagi berkesempatan beroleh penghargaan pegawai terbaik dari kantoran; meski sudah bekerja tiada henti. Berpikir keras mencari variasi makanan sederhana; dan tak lagi berharap atas makanan ala hotel yang sering didapat saat berada di kantoran. Begitulah.
Ya, sungguh mereka pun butuh semangat. Amanah di rumah sangatlah berat. Tak kalah dengan kerjaan kantoran. Sayangnya banyak yang meremehkan. Itu pun butuh dikuatkan, teman. Membantu mereka untuk tetap hebat meski di mata orang mereka orang tak (lagi) berkelas karena tak bekerja. Bantulah mereka tetap hebat menjalankan tugas dan amanah di rumah, meski nyinyiran dari tetangga, rekan, bahkan ada juga dari keluarga yang seolah menyepelekan pilihan mereka. Menganggap mereka tak lagi berguna. Menganggap mereka tak lagi bisa diandalkan. Bantulah mereka supaya lebih kuat tawakal, karena sungguh, mereka berada pada kondisi penuh resiko. Manakala tiba tiba sang pemberi nafkah tak lagi bisa menafkahi, sedang mereka pun sudah meliburkan ijazah mereka dalam map tertumpuk di lemari; tentu menjadi kondisi yang berat bagi mereka. Berilah mereka semangat untuk tetap fokus dengan kerjaan rumah mereka, tidak perlu terlampau memikirkan rezeki meski tak lagi ada ‘pegangan pribadi’. Bantulah mereka. Berilah mereka semangat.
Sungguh...saya tak ingin membandingkan mana yang lebih baik. Ada alasan, ada penyebab, ada motif. Itu yang penting. Jika alasannya tepat, maka tak bolehlah kita menganggap mereka lebih tidak baik dari kita.
Setau saya pun, agama ini memberikan aturan yang pas. Tempat terbaik bagi wanita memang di rumah. Amanah pertama bagi wanita-yang sudah punya suami dan anak- adalah di rumah, mengurus rumah, mendidik anak, melayani suami. “waqorna fii buyuutikunna...” – tetaplah kamu berada di rumahmu. Allah yang berfirman dalam kitab Al Quran tentang hal ini.
Namun, tidak menutup kemungkinan seorang wanita keluar rumah; yaitu untuk bekerja. Alasan inilah yang harus diperhatikan. Seperti saya bahas di dalam tulisan ini juga.
Selain itu, selain “alasan”; agama ini juga punya aturan jika wanita itu harus keluar. Misalnya menutup aurat, bekerja di tempat yang tidak melanggar syariat Allah, dsb. Kita harus belajar lebih lanjut supaya lebih aman dalam bekerja.
Itulah teman.. Sekali lagi, semoga tulisan ini tidak dianggap membela salah satu pihak. Saya pernah mengalami salah satunya, dan sekarang sedang menjalani peran lainnya. Saya merasa tidak harus kita menjadi naik pitam atau ikut emosi kala ada yang membahas kebaikan wanita bekerja, atau kebaikan wanita di rumah dengan saling membandingkan kejelekannya masing-masing. Anggap sajalah tulisan-tulisan itu diperuntukkan bagi ibu sesuai pilihannya. Jika tulisan tentang pembelaan terhadap ibu bekerja, anggap saja itu sebagai salah satu penyemangat bagi mereka yang tengah berjuang bekerja. Jika tulisan itu tentang pembelaan terhadap ibu rumah tangga, anggap saja itu sebagai salah satu penyemangat bagi mereka yang tengah berjuang penuh dengan amanahnya di rumah.
Ya, sudahlah, tak perlu berpanjang lebar. Ini juga Cuma curahan hati saya. Sudah lama ingin menuangkannya, tapi baru kesampaian saat ini. Terimakasih telah membaca, semoga kita bisa saling menyemangati dan mendukung satu sama lain! Semangat!
 
Rumah Ghumaisha, 03/10/2015, pukul 17:51 – saat menemani  si kecil Ghumaisha yang sedang tertidur pulas

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)