curhatibu.com

Tak (Lagi) Bergaji


Ketika ada sesuatu yg sedang diperjuangkan, hari hari terasa lebih membahagiakan. Meskipun lebih lelah; tapi nikmatnya lebih terasa. Jika biasanya menghabiskan yg ada; sekarang memperjuangkan sesuatu itu ada.

Memang beda apa yang sekarang diperjuangkan. Dulu, memperjuangkan sejumput rupiah melalui perjuangan berangkat pagi pulang petang. Kemudian berkutat seharian di kantor yang berada di komplek gedung gedung megah itu. Tak sulit; sungguh gampang sekali pekerjaan yang harus dilakukan. Duduk seharian di depan computer pada ruang pelayanan; menanti tamu yang datang atas sebuah urusan. Tak tentu jumlahnya. Seringnya 1, 2, 3 orang saja yang datang berkunjung dalam sehari. Tapi di kala tertentu, tamu bisa antri sampai larut malam. Sesudah itu, jam 5, antri absen, setor sidik jari dan pulang. Perjuangan yang lebih berat saat itu adalah pulang dan pergi-nya. Naik kereta berjejalan tidak karuan. Terkadang harus berhadapan dg macet berlarut-larut. Yah…anggap saja itu harga yang harus dibayar dg gaji yang (saya pikir) lebih besar dari apa yang saya kerjakan di kantor.

Sekarang, berbeda. Tak lagi berhadapan dg penatnya perjalanan pulang pergi ngantor, serta tak didesak dg jam masuk absen kantor tak membuat perjuangan itu terasa hilang. Justru lebih berasa. Lebih berasa, dan lebih menuntut diri lebih bekerja keras. Jika dulu tak ‘melakukan apa-apa’ pun tetap full penghasilan sebulan, sekarang tidak bisa begitu lagi. Tak melakukan apa-apa, ya penghasilan nol; malah bisa tekor karena mengambil tabungan/simpanan. Mau sesuatu pun tak bisa lagi langsung ambil dan beli; kudu berjuang dulu mengumpulkan rupiah demi rupiah.

Lho, emang suami ke mana; suami tidak bisa mencukupinya kah, sampai harus berjuang keras begitu?

Hehe…jangan salah paham dulu. Justru karena suami sudah memberikan nafkah terbaiknya lah, saya-nya jadi tau diri; sadar diri. Bahwa, uang saya pegang adalah amanah. DIberikan suami kepada kami untuk dibelanjakan/dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Terutama untuk mencukupi kebutuhan keluarga harian. Tidak bisa sembarangan menggunakan, karena ada banyak pos yang telah teralokasikan. Ini bukan masalah jumlah nominalnya; ini masalah ‘mau dikemanakan’. Jadi harus jelas, tidak bisa sembarangan.

Maka, kalau ingin membeli sesuatu di luar pos-pos itu, ya kudu usaha sendiri. Cari sumber lain. Meskipun, sebenarnya kalau minta ke suami pun pasti akan langsung dipenuhi. Tapi kembali; kesadaran diri.

Kesempatan seperti ini juga menjadi sarana saya belajar memperjuangkan sesuatu. Semenjak kecil, orang tua selalu mencukupi kebutuhan saya; full! Sampai-sampai saya tidak pernah sedikitpun merasa kekurangan, dan kesusahan. Betapa luar biasanya orang tua saya. Padahal saya tau bahwa mereka pontang panting ke sana kemari menjemput rezeki guna mencukupi kebutuhan harian kami, termasuk pendidikan kami. Menurut mereka, yang penting kami bisa sekolah dengan baik; itu saja.

Sisi baiknya; Alhamdulillah saya dan kakak saya beroleh sekolah yang oke; dan akhirnya menyandang status sebagai PNS, dengan gaji yang wow. Bisa mengangkat harkat derajat keluarga yang dulu sering mengajukan “surat keterangan” dari kelurahan. Hehehe…

Sisi (belum tentu) tidak baiknya; Saya kurang bisa menghargai perolehan uang yang saya dapat. Hehe….karena saya mendapatkannya dengan mudah, tanpa pernah merasakan perjuangan berolehnya. Tapi dulu saya sering koq diajarkan menabung untuk beli sesuatu. Pernah juga sekali waktu saya punya keinginan, lalu bapak bilang, “Kalau bisa ranking 1 paralel, bapak belikan!” à dan berhasil. Hihihi…. Alhamdulillah

Mungkin karena jarang-jarang di keluarga kami yang sukses dalam hal berbisnis/atau gampangnya : ‘dagang’; maka strata sosial pedagang menjadi lebih rendah daripada pegawai. Maka, tak banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi pedagang. Termasuk, tak banyak orang tua yang mengijinkan anaknya berdagang. Tak ayal, dulu saya menganggap teman yang membawa dagangan ke sekolah untuk dijual itu; (tanpa sadar) ada di strata bawah.

Itulah… Sampai saya lulus kuliah, bahkan saat kerja; nyaris belum pernah menyentuh pekerjaan yang namanya ‘dagang’. Ya, mungkin pernah sesekali pas ngurus Danus kepanitiaan di sekolah/kampus.

Akhirnya, memberanikan diri berdagang di tahun 2014. Belum lama ini kan ya… Sampai sekarang. Belum banyak ilmu dagang yang saya mengerti; belum banyak pengalaman. Tapi saya di sini belajar sangat banyak. Salah satunya ya itu tadi : memperjuangkan sesuatu. Dan rasa perjuangan itu semakin kental setelah saya memutuskan tidak lagi menjadi orang bergaji.

Alhamdulillah :’)

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)