Pembahasan buku harta haram _
pembahasan Pilar pertama yang menyebabkan sebuah transaksi diharamkan oleh
Islam, yaitu transaksi yang mengandung kedzaliman. Contoh kedzaliman adalah
menerima upah atas jasa dari perbuatan yang diharamkan. Pembahasan kali ini adalah yang
sebaliknya, yaitu menerima upah dari jasa sebuah ibadah. Bolehkah yang
demikian?
Ibadah ada yang bersifat mahdhah
dan yang bersifat tidak mahdhah (campuran/berbaur dengan hal yang tidak
termasuk ibadah). Jika seseorang melakukan ibadah
mahdhah yang bersifat fardhu’ain, maka tidak
boleh/tidak sah ia meminta upah atas apa yang dilakukan itu.
Demikian diriwayatkan, “Adapun sesuatu yang manfaat dari perbuatan sesuatu tersebut hanya untuk pelakunya saja, termasuk ibadah mahdhah semisal shalat dan puasa, yang manfaatnya tidak bisa dipindahkan ke orang lain, maka tidak diperbolehkan ia mengambil upah dari perbuatan upahnya ini.” Atas hal ini tidak ada perbedaan pendapat ulama.
Demikian diriwayatkan, “Adapun sesuatu yang manfaat dari perbuatan sesuatu tersebut hanya untuk pelakunya saja, termasuk ibadah mahdhah semisal shalat dan puasa, yang manfaatnya tidak bisa dipindahkan ke orang lain, maka tidak diperbolehkan ia mengambil upah dari perbuatan upahnya ini.” Atas hal ini tidak ada perbedaan pendapat ulama.
Contohnya, “silahkan Anda
melakukan shalat Dzuhur atas nama saya, dengan bayaran sekian dan sekian”. Hal ini
tidak halal karena ia mendzalimi orang yang diberi uang. Kewajiban yang diberi
uang gugur, ia tidak berdosa; namun kewajiban orang yang membayar tidak gugur,
ia tetap berdosa karena tidak shalat.
Namun upah atas suatu ibadah yang
manfaatnya dapat diterima/dinikmati oleh banyak orang, misalnya mengajarkan Al
Qur’an, bagaimana? Bagi pengajar adalah ibadah, sedang bagi yang diajar beroleh
manfaat bisa membaca AL Qur’an.
Contoh yang lain, mengajarkan
ilmu-ilmu keislaman. Bagi yang mengajar adalah ibadah taqarub kepada Allah. Dan
bagi yang belajar akan lebih mengetahui ilmu, perintah, larangan dari Allah.
Termasuk pada penyampai fatwa, adalah ibadah bagi ia. Dan orang lain akan tau
tentang hal yang difatwakan.
Dalam hal ini ada kesepakatan
para ulama, bila gaji itu diberikan oleh pihak ketiga (bukan murid yang
diajar), contoh oleh Baitul Maal, Negara (menjadi pegawai negara, penyuluh
agama, dsb), Lembaga Sosial, Pihak penyelenggara/Panitia, yang menanggung upah
dari pengajar tersebut, para ulama sepakat memperbolehkan
upah tersebut. Atau seseorang yang memberikan tanpa ada akad ijarah,
terkadang memberi, terkadang tidak, terkadang banyak, terkadang sedikit, tidak
masalah.*Akad ijarah adalah jelas
nilainya. Sedang jika tidak ada akad ijarah, diperbolehkan.
Yang menjadi khilaf para ulama
adalah jika ada akad sewa menyewa terhadap suatu jasa atas suatu ibadah tadi. Misalnya,
ada sebuah keluarga yang datang kepada seorang yang ahli qur’an, memintanya
mengajar sang anak, “Setiap kedatangan ustadz, akan kami beri imbalan sekian
dan sekian”. Lalu sang ustadz bilang, “wah, itu kurang! Jadinya sekian saja
bagaimana?”. Terjadi tawar menawar di sana. Berbeda dengan yang di atas, “Ustadz,
tolong isi kajian ya….” Lalu di akhir, sang penyelenggara menyampaikan amplop,
tanpa ada tawar menawar di awal dulu, tidak masalah. Dalam hal ini tidak ada
kewajiban dari penyelenggara untuk membayar sang ustadz. Sedangkan jika ada
kesepakatan di awal, berarti ada kewajiban penyelenggara untuk membayarnya.
Atas hal di atas, PENDAPAT PERTAMA : tidak boleh upah diterima (tidak halal) pemberi jasa
meminta/menentukan upah atas jasa yang disampaikan.
Bukankah rasul dalam menyampaikan
dakwah, selalu mengatakan, “Mereka para rasul adalah orang yang diberi petunjuk
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah Muhammad, bahwa saya
menyampaikan dakwah ini tidak meminta upah dari kalian. Apa yang saya sampaikan
ini hanyalah peringatan untuk alam semesta”
Nabi Nuh juga mengatakan pada
umatnya, “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepadamu, sebagai upah dari
seruanku,. Upahku hanyalah dari Allah”
Nabi Hud mengatakan juga pada
kaumnya, “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu atas seruanku ini. Upahku
hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kau memikirkannya?”
Nabi Shaleh, “dan aku tidak
meminta upah kepada kalian atas dakwah ini. Upahku tidak lain dari Allah, tuhan
semesta alam”
Nabi luth “dan aku tidak meminta
upah kepada kalian atas dakwah ini. Upahku tidak lain dari Allah, tuhan semesta
alam”
Nabi syuaib “dan aku tidak
meminta upah kepda kalian atas dakwah ini. Upahku tidak lain dari Allah, tuhan
semesta alam”
Allah berfirman, “dan datang dari
ujung kota seorang laki-laki, kemudian mengatakan kepada kaumnya, hai kaumku
ikutilah para rasul tersebut. Ikutilah orang-orang yang tidak meminta upah
balasan dari kalian,. Mereka itulah orang yang mendapat petunjuk”
Maka ini merupakan dalil dari
pendapat pertama yang mengatakan tidak
boleh MEMINTA upah. Hal ini karena para rasul tidak meminta upah.
Pendapat kedua : dalil atas para nabi ini tidak dapat digunakan,
karena para rasul mengajarkan orang kafir yang memang tidak mungkin akan
memberi upah kepada mereka. Dan bagi rasul, berdakwah itu adalah wajib bagi
mereka. Sehingga tidak boleh meminta upah. sama juga jika kita sendirian di
suatu lingkungan yang tidak paham AL Qur’an, maka wajib bagi kita mengajarkan
Al Qur’an.
Dalil yang melarang juga
mengambil upah dari mengajarkan ilmu keislaman : “Dan janganlah kamu menukarkan
ayat-ayatku dengan harga yang murah.” Allah juga mengatakan, “Sesunguhnya orang
yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan yang jelas
dan petunjuk setelah Kami menerangkannya kepada manusia di dalam alkitab, maka
itu dilaknati Allah dan semua makhluk yang bisa melaknat.” Jika meminta upah,
artinya tidak mau mengajar jika tidak mendapat upah. berarti ia menyembunyikan
petunjuk tersebut. Nah, ada ulama yang menyampaikan bahwa firman Allah ini
berlaku untuk orang-orang yang hukumnya wajib untuk mengajarkan Al Qur’an. Maka,
bisa jadi, bagi seseorang adalah wajib sehingga haram mengambil upah, dan
sebagian lain yang belum menjadi fardhu ain, maka boleh mengambil upah darinya.
Dalil lainnya, “Bacalah al quran
dan janganlah menjauh dari al qur’an, jangan
ghuluw atas al qur’an, dan janganlah makan dengan qur’an, dan dan jangan memperbanyak
harta dengan al qur’an” Jelas dengan meminta upah adalah mencari kekayaan
dengan agama Allah.
Ulama lain, dalam madzab maliki
dan syafi’I, memperbolehkan mengambil
upah dari perbuatan tadi (mengajarkan al qur’an, dan ilmu islam), meskipun
dalam status kontrak (ada perjanjian di awal). Yaitu dalam status ibnu abbas
diriwayatkan oleh bukhari. Yaitu tentang kisah kepala suku yang disengat hewan
berbisa. Maka, anggota suku tersebut meminta sahabatnya untuk mengobati kepala
suku. Maka ada syarat supaya ada bayaran setelah dibacakan sesuatu untuk kepala
suku sembuh. Lalu oleh sahabat itu membaca al fatihah, dan kepala suku sembuh. Atas
upah tersebut, ada yang makan ada yan tidak, sampai bertemu dengan rasul. Lalu rasul
menyampaikan, “yang paling pantas kalian beri upah adalah mengajarkan Al Qur’an”
Dalil yang lain, ada seorang
wanita minta dinikahi rasul. Dan ketika itu rasul nampak tidak ada hajat. Lalu seorang
sahabat yang melihat hal itu langsung menawarkan dirinya menikahi wanita
tersebut, sedang ia tidak memiliki sedikitpun harta. Lalu rasul berkata, “Telah
kami nikahkan engkau dengan wanita itu dengan AL Qur’an yang ada bersamamu”,
yaitu upah atas ia mengajarkan Al Qur’an kepada wanita tersebut, sebagai mahar.
Maka boleh menggunakan al qur’an untuk mengambil upah.
JALAN TENGAH ATAS DUA PENDAPAT INI
Atas kedua pendapat ini adalah
bila memang seorang yang mengajarkan al qur’an atau ilmu keislaman adalah orang
yang ada di bawah garis kemiskinan, ia menyibukkan diri dengan mengajar, sedang
ia tidak beroleh upah, akan terlantar kehidupan keluarganya, padahal seharusnya
ia bisa berdagang (tidak mengajar) untuk mencari penghidupan untuk keluarganya,
dan seterusnya; maka bagi orang ini boleh melakukan kontrak upah. karena jika
tidak ada kontrak, maka kadang ia dapat uang, kadang tidak dapat upah. Namun jika
si pengajar sudah beroleh kehidupan yang layak, dan kecukupan, sebagaimana
banyak para fuqaha yang merupakan
pedagang besar yang sering membiayai murid-muridnya; maka bagi dia tidak selayaknya ia mencari kekayaan
dengan Al Qur’an. Meskipun, boleh, tapi sebaiknya tidak.
Bagaimana dengan ustadz yang mengajar untuk menambah pemasukan?
Melihat kondisi, tidak bisa kita
menghukumi. Jika memang ustadz tersebut tahu kondisinya sudah cukup, maka tidak
selayaknya mengambil upah. namun jika sebaliknya, maka boleh ia mengambil upah
tersebut.
Apakah dapat pahala, jika mendapat upah dari saya mengajar AL Qur’an?
Asal upah ini bukan menjadi
tujuan asasi, hanya sekedar imbalan, insyaALlah akan beroleh pahala dari Allah.
Kalau jadi khatib?
Sama. Jika di daerah tersebut
tidak ada khatib yang lain, hukumnya wajib bagi Anda menjadi khatib. Maka,
tidak boleh ia menerima upah dari khutbahnya. Namun, jika tidak wajib hukumnya,
maka boleh menerima upah dari khutbahnya.
Bagaimana hukum masjid yang menganggarkan upah bulanan untuk imam
masjid tersebut?
Jika upah diberikan oleh pihak
ketiga (Negara) atau baitul maal, tidak masalah, baik sekali. Sebagaimana imam
khatib di madinah. Atau dengan kontrak dengan masjid, untuk menjadi imam dengan
upah sekian, wajib bagi ia untuk menjalankan kontraknya tersebut. Jika ia
berhalangan, wajib mencari pengganti, dan menyampaikan sebagian upah untuk
penggantinya.
Jika upah didapat dari pekerjaan (contoh kenaikan pangkat), yang ketika
kita masuknya pakai uang sogokan?
Wallahu alam. Bila secara hitungan
peraturan ia sudah berhak naik pangkat. Tapi, ia tidak bisa naik pangkat begitu
saja sebelum melakukan hal yang tidak dihalalkan ini, yaitu jika tidak membayar
uang tersebut, maka tidak akan berdampak ini kepada kehalalan dari gajinya,
karena ia berhak atas pangkatnya ini. Berbeda jika ada orang yang lebih berhak
untuk mendapat jabatan itu, tapi sengaja ia mendahului dengan memberi sogokan
atau rizwah, maka berdampak pada tidak halalnya gaji yang diterimanya tersebut.
Hukum memberi uang tip kepada pegawai yang sudah mendapat gaji dari
tempatnya bekerja, sekedar menyampaikan terimakasih kepadanya?
Rasa terimakasih kita sudah
disampaikan melalui gaji yang disampaikan, oleh tempat ia bekerja. Maka kita
tidak boleh memberikan tips lagi (hadiah). Hadiah ini termasuk ghulul. Maka jika
kita memberikan hadiah, sampaikan kepada yang berhak atas hadiah ini yaitu
pemilik yang mempekerjakannya tidak boleh memberikan langsung kepada pegawai
tersebut. Ada instansi yang memberi kotak khusus bagi orang yang ingin memberi
tips. Lalu hasilnya dibagi rata kepada seluruh bagian dalam perusahaan
tersebut. Yang jelas, tips ini bukan hak bagi pegawai, melainkan hak dari yang
mempekerjakan beliau.
Si A memberi uang kepada si B untuk membeli barang. Uang nya kurang,
dan ditambah si B. lalu saat lapor, si A memberi uang tambahan lebih kepada si
B. bagaimana, apakah ini termasuk riba?
Tidak. Hal ini termasuk upah. akadnya
adalah akad wakalah. Si A mewakilkan si B untuk membelikannya barang. Maka uang
tambahan itu merupakan tambahan upah untuk si B, sebagai ucapan terima kasih.
Halal.
Saya pengajar AL Qur’an, dan sedang ingin membangun pesantren. Jika saya
mendapat infak dari santri, apakah lebih baik saya gunakan untuk mencukupi
kebutuhan santri, atau untuk kebutuhan bangunan pesantren?
Melihat kondisi santri. Jika santri
memang masih kekurangan, ya alokasikan untuk santri. Ingat bahwa yang
semestinya kita pentingkan adalah kualitas manusia, bukan bangunan-bangunan.
Kalau ada orang berobat, lalu kami scara bercanda meminta mereka untuk
memberi sesuatu kepada kita?
Meskipun bercanda, kalau kita
meminta, tidak halal. Sang dokter sudah mendapat gaji. Maka, tidak perlulah itu
menjadi ucapan terima kasih sang pasien atas kesembuhan.
-diambil dari kajian radio rodja-
-diambil dari kajian radio rodja-
bagus artikelnya gan sangat bermanfaat..
ReplyDeletesangat positif artikelnya, ditunggu artikel selanjutnya...
ReplyDelete