curhatibu.com

Menerima Upah atas Ibadah




Pembahasan buku harta haram _ pembahasan Pilar pertama yang menyebabkan sebuah transaksi diharamkan oleh Islam, yaitu transaksi yang mengandung kedzaliman. Contoh kedzaliman adalah menerima upah atas jasa dari perbuatan yang diharamkan. Pembahasan kali ini adalah yang sebaliknya, yaitu menerima upah dari jasa sebuah ibadah. Bolehkah yang demikian?

Ibadah ada yang bersifat mahdhah dan yang bersifat tidak mahdhah (campuran/berbaur dengan hal yang tidak termasuk ibadah). Jika seseorang melakukan ibadah mahdhah yang bersifat  fardhu’ain, maka tidak boleh/tidak sah  ia meminta upah atas apa yang dilakukan itu.
Demikian diriwayatkan, “Adapun sesuatu yang manfaat dari perbuatan sesuatu tersebut hanya untuk pelakunya saja, termasuk ibadah mahdhah semisal shalat dan puasa, yang manfaatnya tidak bisa dipindahkan ke orang lain, maka tidak diperbolehkan ia mengambil upah dari perbuatan upahnya ini.” Atas hal ini tidak ada perbedaan pendapat ulama.

Contohnya, “silahkan Anda melakukan shalat Dzuhur atas nama saya, dengan bayaran sekian dan sekian”. Hal ini tidak halal karena ia mendzalimi orang yang diberi uang. Kewajiban yang diberi uang gugur, ia tidak berdosa; namun kewajiban orang yang membayar tidak gugur, ia tetap berdosa karena tidak shalat.

Namun upah atas suatu ibadah yang manfaatnya dapat diterima/dinikmati oleh banyak orang, misalnya mengajarkan Al Qur’an, bagaimana? Bagi pengajar adalah ibadah, sedang bagi yang diajar beroleh manfaat bisa membaca AL Qur’an.

Contoh yang lain, mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Bagi yang mengajar adalah ibadah taqarub kepada Allah. Dan bagi yang belajar akan lebih mengetahui ilmu, perintah, larangan dari Allah. Termasuk pada penyampai fatwa, adalah ibadah bagi ia. Dan orang lain akan tau tentang hal yang difatwakan.

Dalam hal ini ada kesepakatan para ulama, bila gaji itu diberikan oleh pihak ketiga (bukan murid yang diajar), contoh oleh Baitul Maal, Negara (menjadi pegawai negara, penyuluh agama, dsb), Lembaga Sosial, Pihak penyelenggara/Panitia, yang menanggung upah dari pengajar tersebut, para ulama sepakat memperbolehkan upah tersebut. Atau seseorang yang memberikan tanpa ada akad ijarah, terkadang memberi, terkadang tidak, terkadang banyak, terkadang sedikit, tidak masalah.*Akad ijarah adalah jelas nilainya. Sedang jika tidak ada akad ijarah, diperbolehkan.



Yang menjadi khilaf para ulama adalah jika ada akad sewa menyewa terhadap suatu jasa atas suatu ibadah tadi. Misalnya, ada sebuah keluarga yang datang kepada seorang yang ahli qur’an, memintanya mengajar sang anak, “Setiap kedatangan ustadz, akan kami beri imbalan sekian dan sekian”. Lalu sang ustadz bilang, “wah, itu kurang! Jadinya sekian saja bagaimana?”. Terjadi tawar menawar di sana. Berbeda dengan yang di atas, “Ustadz, tolong isi kajian ya….” Lalu di akhir, sang penyelenggara menyampaikan amplop, tanpa ada tawar menawar di awal dulu, tidak masalah. Dalam hal ini tidak ada kewajiban dari penyelenggara untuk membayar sang ustadz. Sedangkan jika ada kesepakatan di awal, berarti ada kewajiban penyelenggara untuk  membayarnya.

Atas hal di atas, PENDAPAT PERTAMA : tidak boleh upah diterima (tidak halal) pemberi jasa meminta/menentukan upah atas jasa yang disampaikan.

Bukankah rasul dalam menyampaikan dakwah, selalu mengatakan, “Mereka para rasul adalah orang yang diberi petunjuk Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah Muhammad, bahwa saya menyampaikan dakwah ini tidak meminta upah dari kalian. Apa yang saya sampaikan ini hanyalah peringatan untuk alam semesta”

Nabi Nuh juga mengatakan pada umatnya, “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepadamu, sebagai upah dari seruanku,. Upahku hanyalah dari Allah”

Nabi Hud mengatakan juga pada kaumnya, “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu atas seruanku ini. Upahku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kau memikirkannya?”

Nabi Shaleh, “dan aku tidak meminta upah kepada kalian atas dakwah ini. Upahku tidak lain dari Allah, tuhan semesta alam”

Nabi luth “dan aku tidak meminta upah kepada kalian atas dakwah ini. Upahku tidak lain dari Allah, tuhan semesta alam”

Nabi syuaib “dan aku tidak meminta upah kepda kalian atas dakwah ini. Upahku tidak lain dari Allah, tuhan semesta alam”

Allah berfirman, “dan datang dari ujung kota seorang laki-laki, kemudian mengatakan kepada kaumnya, hai kaumku ikutilah para rasul tersebut. Ikutilah orang-orang yang tidak meminta upah balasan dari kalian,. Mereka itulah orang yang mendapat petunjuk”

Maka ini merupakan dalil dari pendapat pertama yang mengatakan tidak boleh MEMINTA upah. Hal ini karena para rasul tidak meminta upah.

Pendapat kedua : dalil atas para nabi ini tidak dapat digunakan, karena para rasul mengajarkan orang kafir yang memang tidak mungkin akan memberi upah kepada mereka. Dan bagi rasul, berdakwah itu adalah wajib bagi mereka. Sehingga tidak boleh meminta upah. sama juga jika kita sendirian di suatu lingkungan yang tidak paham AL Qur’an, maka wajib bagi kita mengajarkan Al Qur’an.

Dalil yang melarang juga mengambil upah dari mengajarkan ilmu keislaman : “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayatku dengan harga yang murah.” Allah juga mengatakan, “Sesunguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan yang jelas dan petunjuk setelah Kami menerangkannya kepada manusia di dalam alkitab, maka itu dilaknati Allah dan semua makhluk yang bisa melaknat.” Jika meminta upah, artinya tidak mau mengajar jika tidak mendapat upah. berarti ia menyembunyikan petunjuk tersebut. Nah, ada ulama yang menyampaikan bahwa firman Allah ini berlaku untuk orang-orang yang hukumnya wajib untuk mengajarkan Al Qur’an. Maka, bisa jadi, bagi seseorang adalah wajib sehingga haram mengambil upah, dan sebagian lain yang belum menjadi fardhu ain, maka boleh mengambil upah darinya.

Dalil lainnya, “Bacalah al quran dan janganlah menjauh dari  al qur’an, jangan ghuluw atas al qur’an, dan janganlah makan dengan qur’an, dan dan jangan memperbanyak harta dengan al qur’an” Jelas dengan meminta upah adalah mencari kekayaan dengan agama Allah.

Ulama lain, dalam madzab maliki dan syafi’I, memperbolehkan mengambil upah dari perbuatan tadi (mengajarkan al qur’an, dan ilmu islam), meskipun dalam status kontrak (ada perjanjian di awal). Yaitu dalam status ibnu abbas diriwayatkan oleh bukhari. Yaitu tentang kisah kepala suku yang disengat hewan berbisa. Maka, anggota suku tersebut meminta sahabatnya untuk mengobati kepala suku. Maka ada syarat supaya ada bayaran setelah dibacakan sesuatu untuk kepala suku sembuh. Lalu oleh sahabat itu membaca al fatihah, dan kepala suku sembuh. Atas upah tersebut, ada yang makan ada yan tidak, sampai bertemu dengan rasul. Lalu rasul menyampaikan, “yang paling pantas kalian beri upah adalah mengajarkan Al Qur’an”
Dalil yang lain, ada seorang wanita minta dinikahi rasul. Dan ketika itu rasul nampak tidak ada hajat. Lalu seorang sahabat yang melihat hal itu langsung menawarkan dirinya menikahi wanita tersebut, sedang ia tidak memiliki sedikitpun harta. Lalu rasul berkata, “Telah kami nikahkan engkau dengan wanita itu dengan AL Qur’an yang ada bersamamu”, yaitu upah atas ia mengajarkan Al Qur’an kepada wanita tersebut, sebagai mahar. Maka boleh menggunakan al qur’an untuk mengambil upah.

JALAN TENGAH ATAS DUA PENDAPAT INI

Atas kedua pendapat ini adalah bila memang seorang yang mengajarkan al qur’an atau ilmu keislaman adalah orang yang ada di bawah garis kemiskinan, ia menyibukkan diri dengan mengajar, sedang ia tidak beroleh upah, akan terlantar kehidupan keluarganya, padahal seharusnya ia bisa berdagang (tidak mengajar) untuk mencari penghidupan untuk keluarganya, dan seterusnya; maka bagi orang ini boleh melakukan kontrak upah. karena jika tidak ada kontrak, maka kadang ia dapat uang, kadang tidak dapat upah. Namun jika si pengajar sudah beroleh kehidupan yang layak, dan kecukupan, sebagaimana banyak para fuqaha yang merupakan pedagang besar yang sering membiayai murid-muridnya; maka bagi dia tidak selayaknya ia mencari kekayaan dengan Al Qur’an. Meskipun, boleh, tapi sebaiknya tidak.

Bagaimana dengan ustadz yang mengajar untuk menambah pemasukan?
Melihat kondisi, tidak bisa kita menghukumi. Jika memang ustadz tersebut tahu kondisinya sudah cukup, maka tidak selayaknya mengambil upah. namun jika sebaliknya, maka boleh ia mengambil upah tersebut.

Apakah dapat pahala, jika mendapat upah dari saya mengajar AL Qur’an?
Asal upah ini bukan menjadi tujuan asasi, hanya sekedar imbalan, insyaALlah akan beroleh pahala dari Allah.

Kalau jadi khatib?
Sama. Jika di daerah tersebut tidak ada khatib yang lain, hukumnya wajib bagi Anda menjadi khatib. Maka, tidak boleh ia menerima upah dari khutbahnya. Namun, jika tidak wajib hukumnya, maka boleh menerima upah dari khutbahnya.

Bagaimana hukum masjid yang menganggarkan upah bulanan untuk imam masjid tersebut?
Jika upah diberikan oleh pihak ketiga (Negara) atau baitul maal, tidak masalah, baik sekali. Sebagaimana imam khatib di madinah. Atau dengan kontrak dengan masjid, untuk menjadi imam dengan upah sekian, wajib bagi ia untuk menjalankan kontraknya tersebut. Jika ia berhalangan, wajib mencari pengganti, dan menyampaikan sebagian upah untuk penggantinya.

Jika upah didapat dari pekerjaan (contoh kenaikan pangkat), yang ketika kita masuknya pakai uang sogokan?
Wallahu alam. Bila secara hitungan peraturan ia sudah berhak naik pangkat. Tapi, ia tidak bisa naik pangkat begitu saja sebelum melakukan hal yang tidak dihalalkan ini, yaitu jika tidak membayar uang tersebut, maka tidak akan berdampak ini kepada kehalalan dari gajinya, karena ia berhak atas pangkatnya ini. Berbeda jika ada orang yang lebih berhak untuk mendapat jabatan itu, tapi sengaja ia mendahului dengan memberi sogokan atau rizwah, maka berdampak pada tidak halalnya gaji yang diterimanya tersebut.

Hukum memberi uang tip kepada pegawai yang sudah mendapat gaji dari tempatnya bekerja, sekedar menyampaikan terimakasih kepadanya?
Rasa terimakasih kita sudah disampaikan melalui gaji yang disampaikan, oleh tempat ia bekerja. Maka kita tidak boleh memberikan tips lagi (hadiah). Hadiah ini termasuk ghulul. Maka jika kita memberikan hadiah, sampaikan kepada yang berhak atas hadiah ini yaitu pemilik yang mempekerjakannya tidak boleh memberikan langsung kepada pegawai tersebut. Ada instansi yang memberi kotak khusus bagi orang yang ingin memberi tips. Lalu hasilnya dibagi rata kepada seluruh bagian dalam perusahaan tersebut. Yang jelas, tips ini bukan hak bagi pegawai, melainkan hak dari yang mempekerjakan beliau.

Si A memberi uang kepada si B untuk membeli barang. Uang nya kurang, dan ditambah si B. lalu saat lapor, si A memberi uang tambahan lebih kepada si B. bagaimana, apakah ini termasuk riba?
Tidak. Hal ini termasuk upah. akadnya adalah akad wakalah. Si A mewakilkan si B untuk membelikannya barang. Maka uang tambahan itu merupakan tambahan upah untuk si B, sebagai ucapan terima kasih. Halal.

Saya pengajar AL Qur’an, dan sedang ingin membangun pesantren. Jika saya mendapat infak dari santri, apakah lebih baik saya gunakan untuk mencukupi kebutuhan santri, atau untuk kebutuhan bangunan pesantren?
Melihat kondisi santri. Jika santri memang masih kekurangan, ya alokasikan untuk santri. Ingat bahwa yang semestinya kita pentingkan adalah kualitas manusia, bukan bangunan-bangunan.

Kalau ada orang berobat, lalu kami scara bercanda meminta mereka untuk memberi sesuatu kepada kita?
Meskipun bercanda, kalau kita meminta, tidak halal. Sang dokter sudah mendapat gaji. Maka, tidak perlulah itu menjadi ucapan terima kasih sang pasien atas kesembuhan.

-diambil dari kajian radio rodja-

2 comments

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)