curhatibu.com

Yang Ku Tahu, Ia beramal begitu 'sederhana'

"Alhamdulillahirabbil 'alamin..."

Lingkaran kecil hari ini telah usai. Mataku membasah. 
"Aku merindukanmu," begitu hati berkata.

---//---

"Coba, Buk, bilang huruf 'ha' (pada alhamdu....) sama ha (pada Allah)," ujarku malam itu.

"Ngene yo, Nduk?"sembari ia mempraktekkan.

"Agak susah ya, kalau sudah tua gini," kata Ibu, setelah kami usai menyelesaikan satu halaman, "ini matanya mudah sekali kabur, jadi pusing!". Sembari menutup mushaf Al Qur'an biru ukuran besar itu. Ia berucap lagi, "Angger isuk, Ibuk ngaji ning Pak Kyai..."

“Sama siapa, buk?”, tanyaku, sembari minum air putih yang disiapkan Ibuk sebelumnya.

“Ya, Ibuk ajak ibu-ibu sekitar sini. Yang mau. Trus, temen rias ibu. Tapi, mereka suka ikutan nggak datang kalau ibuk nggak datang,” Ibu beralih ke hp nya, “beberapa kali ibu nggak datang karena rias, atau pas ke Semarang nengok Azzam.”

---//---

“Subhanaka allahumma wabihamdika asyhadu Allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuu bu ilaih…”, tersadar. Ah, udah selesai dan mau Isya’

Aku beranjak. Kebetulan sedang berhalangan shalat. Menuju ke kamar, dan berkutat dengan laptop pink-ku. Ada tugas kantor yang belum kuselesaikan rupanya.

Satu hal yang ku syukuri. Ibu adalah orang yang bersemangat belajar ngaji. Bahkan , aku tahu betul, secara de facto, beliau menjadi ketua kelompok pengajian di rumahku. Mungkin, sekalian menjabat menjadi Bu RT (istri dari Ketua RT), sehingga ditunjuk secara tidak langsung.

“De’,punya materi bagus nggak, buat ibu-ibu?” Tanya Ibu di suatu malam. Waktu itu, kebetulan aku sedang liburan kuliah.

“Mau yang kayak gimana, buk?”, tanyaku, sembari membuka-buka materi laptop.
“Ya, yang amalan-amalan itu saja lah.. Yang bisa langsung diamalkan ibu-ibu. Biar nanti Ibuk sampaikan ke mereka,” kali ini ibu sibuk mencari catatan kecil dari tasnya, “mereka tidak ada yang mau menyampaikan materi. Pasti, Ibuk yang disuruh. Padahal Ibuk tidak tahu apa-apa, belum ngaji kaya kamu juga. Tapi, semoga, ada yang bisa diamalkan, jadi jariyah.”

-Ah, ibu, yang ku tahu, kau sangat sederhana-

“Boleh kan, nduk, kalau ibuk cuma ngaji satu dua lembar?” suatu ketika bertanya.
“Boleh, buk.. Yang penting, rutin aja…”

Atau di lain waktu,
“Ibuk pengen mencoba menghafalkan Al Qur’an. Kemarin udah nyoba sampai Adh-Dhuha, tapi masih grothal-gratul.

Lalu pesannya,
“Adh-Dhuha gampang dihafalin karena sering dipake pas shalat dhuha,” ia menghela, “jangan lupa shalat dhuha ya, nduk…”

-Yang ku tahu, ia melaksanakan amalan-amalan sederhana.-

Ibu, sungguh, merindukan pelukan itu. Merindukan pula mencium tanganmu saat aku berpamitan, lalu kau kecup aku di pipi dan keningku, lembut. Merindukan mencium kakimu, meski itu baru pertama. Dan ternyata, demikian selamanya.

“Ibuk senang, bangga sama kalian. Teruslah bersama Al Qur’an, belajar ngaji selalu. Ibuk ayem punya kalian,” ujarnya padaku, saat aku berada dalam peluknya. Peluk yang tak sempurna.

Air mataku jatuh. Kurasa, itu kali pertama (lagi) aku menangis di hadapannya. Selain ketika dulu aku masih kecil sampai kemudian aku ke ibukota.

Ora usah nangis, Nduk… Ibuk gak papa…,”sambil di belai rambutku lembut.
Air mataku bertambah deras. Suasana hening.

2 comments

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)
  1. bahkan air mata menderas tanpa kuminta..
    semoga amal2 "sederhana" itu menjadi tabungan beliau ya wind..
    pun keberadaanmu, pastinya menjadi tabungan tersendiri bagi beliau..

    ReplyDelete
  2. Aamiin,,
    n.n itu siapa ya? boleh kenal tak?:)

    ReplyDelete