curhatibu.com

Warisan Abadi - Al Qur'an dan Hadits (Pesan Abdi Negara di DJA-Kemenkeu)

"Bolehlah kita berpikiran harta untuk bekal anak tujuh turunan kita," ujar sang bapak yang bertubuh cukup bongsor, sembari merapikan arsip-arsipnya, "tapi jangan lupa, dunia ini fana!" lanjutnya. Tangannya kemudian meraih stempel di ujung meja kerja. Masih sembari berdiri di depan meja kerjaku. Ia menstempel satu demi satu arsip-arsip yang tadi ku sebutkan. 

"Belum tentu juga, keturunan kita bahagia, dengan harta peninggalan kita. Berapa banyak keluarga yang akhirnya terpecah, putus silaturahimnya, hanya gara-gara rebutan harta warisan, " dia menata nafasnya perlahan, terdengar agak berat. Bukan karena permasalahan hidupnya, atau kisahnya. Sepertinya, nafasnya senantiasa berbunyi seperti desah yang berat. Mungkin karena batuk yang acapkali terdengar mengiring kerja kerasnya di ruang ini. 

Aku mengangguk-angguk saja mendengar cerita si bapak. "Mungkin, itulah mengapa Rasul tidak meninggalkan harta kepada keluarganya, kepada umatnya, " kali ini ia meletakkan sejenak kertas-kertas itu, sembari menatap tajam ke arahku, "Satu saja cincin yang ditinggalkan beliau, bisa menjadi barang paling mahal di dunia ini!"

Telunjuknya kemudian dinampakkan. Diacungkan bersama jari tengah gempalnya. Lalu berkata, "Maka hanya dua hal yang ditinggalkan beliau. Kau tau apa? Bukan harta..."

"Tapi.., Al Qur'an... dan Al Hadits! Siapa yang mau, silakan ambil!", kali ini, kelima jarinya menengadah, seolah mempersilakan siapapun yang menginginkannya. Kemudian ia berbalik menuju kepada tumpukan berkas selanjutnya.

Aku tertegun. 
Aku jadi teringat, sebelumnya, beliau (si bapak), masih dengan nafasnya yang demikian berat berkata, "Nanti, kalau sudah jadi PNS, mendapat gaji sekian juta. Lalu bekerja sepuluh tahun-an, gaji bertambah perlahan hingga akhirnya dua kali lipat dari gaji pertama," seperti biasa, tatapannya serius.

"Lalu jika tiba-tiba ada seorang pegawai baru datang. Baru bekerja sebentar, sudah mendapat gaji bahkan melebihimu, melebihi orang-orang yang telah bekerja sekian puluh tahun, tenang saja! Tata mental. Jangan sampai timbul rasa iri, dan ketidaksyukuran. Semuanya ada jatahnya. Tak perlu sebal dengan 'politik' kantor yang mungkin ada ketidakadilan di sana. Tak perlu sebal dengan jatah yang tak lagi sebanding dengan kerja keras.", sejenak berhenti. Seperti biasa, kembali menata nafasnya.

"Bekerja sajalah. Berikan yang terbaik. Kemudian, syukuri apa yang kau dapatkan. Sekecil apapun itu. Bisa jadi, ketika kita terbiasa menikmati sesuatu yang kecil, sesuatu yang besar tak akan terlalu menyilaukan mata kita. Hanya syukur. Syukur, itu yang kita perlukan. Allah tak akan salah mengirimkan jatah rezeki selama usia kehidupan kita di dunia. Ingat, masa abadi ada di akhirat!", dan percakapan berujung kepada warisan abadi untuk umat manusia. Lagi-lagi, masih dengan nafas berat dan tatapan tajamnya. 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)