curhatibu.com

Pesan Cinta dari-nya


"Berapapun yang didapatkan, yang penting syukuri. InsyaAllah cukup. Paling tidak, untuk kebutuhan pokok sehari-harinya. Yang penting disyukuri. Ya?", pesannya malam ini.

Ya, sosoknya. Demikian adanya. Tak banyak berbincang. Pun di telepon, hanya satu dua kalimat 'wajib' yang diucapkan. Selebihnya, hanya jika ada inisiatif baru yang kuceritakan padanya. 

Malam ini, ia sedang sendirian. Hm..paling tidak, sampai sekitar satu jam setelah tombol 'telepon merah' hp nya dipencet. Aku bahkan belum pernah ke tempat itu. Dulu, sekali. Waktu itu, ibu mengajakku berkunjung ke sana. Ya, paling tidak, aku tahu ancer-ancer ke sana. Kuharap, ia tak kesepian. Mungkin juga, sekarang, sudah ada yang menemani. Iya, jadi aku tak perlu khawatir.

"Rela! Sungguh, bahkan seandainya pun rumah ini harus dijual, rela! Untuknya. Sudah tak peduli dengan apa yang akan terjadi nanti.
Yang penting bisa melihatnya kembali pulih," ujarnya malam sebelum keberangkatanku. Ada setitik air dipaksanya berhenti di pelupuk mata. Wajah hitamnya memerah. Seperti ada beban. Aku tak tahu apa.

Aku bergerak, berpura-pura membetulkan posisi dudukku. Lalu sedikit membenahi kerudung unguku, sambil mengusap sudut-sudut mataku yang juga membasah. 


Ah, Aku tak ingin ia melihatku meneteskan air mata. Sudah terlampau banyak perjuangan bersama tetesan air mata, dalam hidupnya. Meski aku tak sering menangkap pipinya membasah.

"Yang penting, nanti di sana, bekerjalah sungguh-sungguh. Belajar yang rajin juga. Kalau sudah mapan hidupnya, jangan melupakan sahabat-sahabat kecil yang turut mendoakanmu, dan menemani dari tumbuhnya kamu sejak kecil. Mengantarmu ke sekolah saat kami bekerja. Menemani bermain saat kami tak ada. Membantu mendoakanmu saat kau hendak ujian. Hingga bersama doa tulus yang menghantarkanmu sampai saat ini," ujarnya lagi, pelan. Nafasku tertahan.

Aku lalu menatapkan mataku ke atas, ke langit hitam. Berharap tak hujan malam ini. Agar perjalanan lancar. Ah, tetap tak tersembunyikan. Sesungguhnya, air mata itu tak bisa tertahan. Tapi, tak apalah. Toh, sosok di hadapanku juga sama tak inginnya terlihat menangis. Ia menghadap arah lain, tak menghadapku.

"Jaga kesehatan. Makan yang teratur. Dijaga kondisi tubuhnya," kali ini ia menghadapkan wajah kepadaku, "percuma jika banyak harta, tapi tubuh tak terjaga. Sakit itu mahal. Tak lagi karena harga obat yang mahal, melainkan karena mahalnya kesempatan sehat yang harus tergantikan oleh berbaring tak berdayanya kita di rumah pesakitan." 

Ah! Aku tak suka mendengar kata 'rumah pesakitan'. Meski dulu aku sempat jatuh cinta pada tempat itu, namun sejak malam itu, semuanya berubah. Dan aku tak ingin kembali ke sana. 

Mbbrrmm....
Terdengar suara mesin menderu dari ujung jalan.

Suasananya tiba-tiba senyap. Aku dan dia sejenak bertatap. Dalam diam. Lalu tersadar. 

Mobil jemputan sudah datang. Perjalanan akan dimulai... 
Bismillahitawakkaltu 'alallah laa hau laa wa laa quwwata illaa billah..

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)