curhatibu.com

Judul : Pilihan

Re-Post lagi artikel yang pernah saya tulis. Kali ini, ditulis bulan desember 2011 lho...
Semoga bisa menyegarkan pikiran, refresh lagi dengan pelajaran-pelajaran yang dulu pernah diambil

------------------------------------------------------------------
Judul : Pilihan




pilihan

Mereka mulai mempertanyakan. Mereka mulai menyesalkan. Mereka mulai menyesakkan. Atas pilihan yang telah mereka ambil. Mereka saja, atau mungkin kita termasuk di dalamnya. Entahlah. Yang pasti, mereka mulai menyesali takdirnya. Takdir, yang dianggapnya sebagai pilihan masa lalu. Dan nyatanya, bukan itu yang diinginkannya dulu. Bukan itu yang diharapkannya dulu. Bukan itu yang menjadi alasannya dulu. Namun sepertinya mereka lupa misteri takdir.


“… Maka itulah gunanya misteri takdir. Agar kita memilih di antara bermacam tawaran. Untuk menyusun cita dan rencana. Lalu bertindak dengan prinsip indah, ‘Kita bisa lari dari takdir Allah yang satu ke takdir Allah yang lain, dengan takdir Allah pula”, demikian ustadz Salim menuturkan dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang.

Sayangnya, “takdir hanya disebut begitu ketika sudah terjadi”. Saat pilihan itu datang, ada ruang yang membuat kita leluasa memilihnya. Pun alasan yang bebas kita jadikan dasar setiap pilihan. Ada pula konsekuensi yang semestinya sudah kita pikirkan dan pertimbangkan. Dan semestinya, telah kita minta kan pula petunjuk pada Dia, yang Maha mengetahui setiap jalan kehidupan kita.

Dan kita bebas memilih. Terlepas, apakah ada unsur paksaan, dorongan, tekanan dari pihak lain, ya itupun termasuk takdir kita. Tapi yang pasti, kata Ust salim dalam bagian yang sama, “Selalu ada ruang di antara rangsangan dan tanggapan. Dan ruang itu berisi pilihan-pilihan”. Ada rangsangan dari luar diri kita. Ada tanggapan yang akan kita lakukan atasnya. Antara keduanya ada pilihan kita untuk bertindak, apakah menyetujuinya, atau memilih sebaliknya. Itu semua pilihan kita.

Lalu bagaimana dengan istikharah kita? Mengutip kembali untaian yang menarik dari beliau, “Dalam setiap pilihan hidup, seorang mukmin beristikharah pada Allah. Tetapi shalat istikharah itu hanyalah salah satu tahapan saja, sebagian dari tanda kepasrahannya kepada apa yang dipilihkan Allah bagi kebaikannya. Untuk dunia, agama, dan akhiratnya. Istikharah yang sesungguhnya dimulai jauh sebelum itu; dari rasa taqwa, menjaga kesucian ikhtiar, dan kepekaan dalam menjaga hubungan baik dengan Allah.”

bertanyalah...
Maka setelah semua dijalani, istikharah adalah saat bertanya. Apakah kita pantas dijawab oleh-Nya, seperti apa jawabNya itu, dan beranikah kita menerima jawaban itu apa adanya. Karena itu menjadi sejujur-jujurnya jawaban.

“Karena soalnya bukanlah diberi atau tidak diberi. Soalnya, bukan diberi dia atau diberi yang lain. Urusannya adalah tentang bagaimana Allah memberi. Apakah diulurkan lembut dengan cinta, ataukah dilempar ke muka murka. Bisa saja yang diberikan sama, tapi rasa dan dampaknya berbeda. Dan bisa saja yang diberikan pada kita berbeda dari apa yang diharap hati, tapi rasanya jauh melampaui. Di situlah yang kita namakan barakah. Di jalan cinta para pejuang, ada taqwa yang menjaminkan Barakah untuk kita”, ujar beliau mengakhiri pembahasan tentang pilihan.

Begitulah. Pertanyaannya, apakah dahulu, hal-hal di atas yang kita lakukan? Atau sekedar memperturutkan hawa nafsu duniawi, dan pemikiran sesaat tanpa disertai taqwa dan permintaan petunjuk pada Al Hadi.

Hingga di akhirnya, yang muncul dari mulut kita adalah,

“Ah, seandainya saya dulu begini, dan begitu… Pasti tidak akan begini…”
“Sungguh, saya menyesal telah memilih ini! Kenapa dulu saya menuruti saja apa yang diinginkan mereka”
“Sampai sekarang, dada saya selalu sesak saat mengingat kesalahan saya memilih, hingga nasib saya sekarang seperti ini”

Dan berbagai kalimat penyesalan, dan pengandaian yang muncul sebagai jebakan syetan bagi mereka, lainnya. Tak ada guna. Sungguh, tiada guna. Tak akan mengubah setiap putusan yang telah kita ambil pun tak akan mengubah keadaan kita menjadi lebih baik, justru menjadi lebih buruk.

Bukankah telah diterangkan dengan jelas, bahwa jika mendapat nikmat kita bersyukur “Alhamdulillah…”, jika mendapat musibah kita bersabar. Menyerahkan semuanya pada Allah. Kembalikan pada Allah, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun”. Lagi-lagi akan terkait dengan takdir atau ketetapan Allah. Berucaplah, “Saya tidak tahu ini rahmat atau musibah, saya hanya berprasangka baik pada Allah”. Bukankah lebih nyaman? Lebih enak? Dan itulah yang akan membesarkan hati kita. Menjauhkan kita dari sesal kemudian yang tiada berguna.

Begitulah tentang pilihan, dan setiap konsekuensinya. Tak perlu menyesalinya. Belum tentu juga, dengan takdir yang kita inginkan, kita mendapat kondisi yang lebih baik dari yang saat ini kita terima. Belum tentu apa yang kita suka itu baik dan mendatangkan manfaat lebih besar untuk kita. Allah Mahamengetahui, dan kita tidak tahu.

24 Desember 2011

---------------------------------------------------------------
Heu...rupanya, apa yang saya tulis di atas itu berlaku juga untuk banyak hal...:)

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)