curhatibu.com

Peran Pemerintah dalam Kebijakan Redenominasi - Opini


Jika kita melihat kondisi masyarakat saat ini, sebenarnya kebijakan redenominasi pada beberapa bidang ekonomi, terutama sektor ekonomi mikro, sudah mulai terlihat. Contohnya saja pada penjual pulsa elektrik, umumnya daftar pulsa yang dijual sudah dicantumnkan dalam angka satuan dan puluhan saja. Untuk beberapa golongan masyarakat, penghilangan tiga angka nol ini sudah biasa sehingga shock effect dari redenominasi dapat diminimalisasi.
Berdasarkan data perbandingan kurs mata uang terhadap Dollar Amerika, kurs Rupiah terlihat sangat rendah dibandingkan dengan kurs mata uang beberapa Negara ASEAN. Hal ini memberi kesan yang buruk bagi Rupiah, efeknya investor asing menjadi kurang tertarik berinvestasi di Indonesia. Dan dari sisi penghitungan pun, banyak perangkat dan aplikasi sehari-hari yang terbatas dalam menampilkan digit angka sehingga penyederhanaan nominal memang perlu dilakukan.

Pengalaman beberapa Negara dalam melakukan redenominasi juga beragam, ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Pengalaman kegagalan beberapa Negara dalam menerapkan redenominasi perlu disikapi serius oleh Indonesia. Faktor-faktor penyebab kegagalan penerapan redenominasi harus dikaji lebih mendalam dan dikaitkan dengan kondisi fundamental perekonomian Indonesia. Harapannya agar hal-hal tersebut tidak terulang di Indonesia. Regulasi dan timing implementasi menjadi dua faktor yang sangat menentukan keberhasilan implementasi redenominasi. Pemerintah dan parlemen harus menyiapkan UU yang tegas, karena redenominasi akan berdampak pada banyak peraturan perundang-undangan sebelumnya, terutama dalam penyebutan nilai nominal yang tercantum dalam peraturan tersebut. UU redenominasi harus mengatur secara tegas hal tersebut agar tidak terjadi salah tafsir tentang besaran nilai uang yang dimaksud. Misalnya pada peraturan tentang denda yang harus dibayarkan akibat suatu pelanggaran tertentu. Anggaplah sebelum redenominasi disebutkan Rp 100 juta, setelah redenominasi nominal denda yang dikenakan haruslah menjadi Rp 100.000. Jangan sampai denda yang diberlakukan tetap pada nominal Rp 100 juta. Hal ini akan memberatkan masyarakat.
Timing implementasi redenominasi harus mempertimbangkan kondisi fundamental perekonomian Indonesia dan harus ditinjau ulang tiap tahunnya sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan langkah-langkah berikutnya. Dalam melakukan sosialisasi dan komunikasi kebijakan redenominasi, pemerintah harus tegas dan jelas menyampaikan kebijakan ini, karena hal ini sangat berpengaruh pada sisi penghitungan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Pemerintah harus meminimalisasi timbulnya spekulasi dalam implementasi redenominasi. Para pelaku pasar sangat mungkin memanfaatkan momen ini untuk menaikkan harga secara signifikan.
Pemerintah pun harus mendidik masyarakat untuk memahami kesetaraan nilai mata uang Rupiah lama dan Rupiah baru. Jangan sampai ada kasus, 3 lembar Rupiah lama pecahan Rp 100.000 dan 2 lembar Rupiah baru pecahan Rp 100 dihitung sebesar Rp 300.200. Padahal seharusnya bernilai Rp 500.
Pemerintah dan BI perlu mengundang institusi penyusun standar akuntansi sektor privat (IAI) dan penyusun standar akuntansi pemerintah (KSAP) untuk memperoleh rekomendasi terkait proses pencatatan dan pelaporan keuangan dengan adanya kebijakan redenominasi. Dari sisi pemerintah, UU Redenominasi harus mencantumkan peraturan mengenai mekanisme penyusunan APBN untuk tahun awal diberlakukannya kebijakan redenominasi. Dari sisi sektor privat, pencatatan dan pelaporan keuangan harus diseragamkan dalam hal pencantuman nilai nominal agar otoritas pajak dapat memotong dan memungut pajak sesuai nilai yang seharusnya.
Kebijakan redenominasi harus mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia terkait masa transisi kebijakan ini. pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis agar uang Rupiah baru dapat beredar di daerah terpencil. Langkah tersebut tidak hanya mengedarkan Rupiah baru saja, tetapi juga mensosialisasikan kesetaraan nilai Rupiah lama dan rupiah baru.
Hyperinflasi harus diwaspadai pula dalam penetapan kebijakan ini nantinya. Sebenarnya, kebijakan ini bertujuan salah satunya mencegah terjadinya inflasi yang bisa terjadi karena pecahan uang yang sangat besar. Namun, dalam tahun-tahun awal, sangat mungkin dikhawatirkan terjadi hyperinflasi. Mengapa? Karena masyarakat mengalami kepanikan, sehingga mereka semacam tidak percaya memegang uang. Kemudian mereka akan membeli asset yang banyak, sehingga harga pun akan naik. Selain itu, perlu diwaspadai ulah pengusaha/pedagang yang menaikkan harga. Pedagang menganggap harga ‘baru’ Nampak sangat murah. Hal ini dimanfaatkannya untuk menaikkan harga barangnya. Jika hal ini terjadi, inflasi pun tak bisa dihindari. Alasan lain adalah pembulatan ke atas. Ketiadaan pecahan, bisa menjadikan nilai uang dibulatkan ke atas, sampai ada pecahan yang dimaksud. Yang perlu diperhatikan juga adalah banyaknya orang yang akan membeli mata uang asing, dan emas (LM). Pastinya, hal ini akan menurunkan nilai rupiah. Demikian seterusnya.
Dengan demikian, peran pemerintah menjadi sangat penting. Baik dalam masa penyiapan, pemantapan, implementasi dan transisi, dan finishing kebijakan ini. Dalam masa penyiapan, maka sudah semestinya pemerintah mengawal perumusan Undang-Undang terkait redenominasi Rupiah. Proses penetapan redenominasi rupiah ini harus hati-hati dilakukan. Karena ia bisa mengundang kerawanan jika dibahas dalam waktu yang cukup lama, dan ditetapkan secara terbuka. Kerawanan yang dimaksud dapat saja mempengaruhi dinamika pasar sebagai akibat terjadinya perubahan nilai rupiah seperti dampak kenaikan harga, dan sebagainya.
Namun, keuntungan jika pembahasan dilakukan secara terbuka adalah memberi kesempatan keterlibatan dan partisipasi publik secara lebih luas dan transparan. Apalagi, perubahan kebijakan ini terkait dengan hajat hidup orang banyak, karena berkenaan dengan alat tukar sehari-hari. Perubahan kebijakan yang demikian luas dampaknya tersebut tentunya berkaitan pula dengan perubahan dalam hak dan kewajiban banyak orang, sehingga sudah seharusnya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Adapun yang mempunyai kewenangan perancangan, pembahasan, pengesahan, dan penetapan Undang-Undang adalah presiden (dalam hal ini dikelola oleh Kementerian Keuangan) dan DPR. Draft rancangan Undang-Undang tentang redenominasi ini setidaknya memuat norma : ketentuan yang mengatur berbagai prosedur penerapan kebijakan beserta segala akibat hukum di lapangan melalui aturan peralihan, dan pernyataan penetapan mulai sejak kapan nilai rupiah yang bersangkutan mengalami redenominasi dan berapa besar nilai denominasi yang ditetapkan.
 Peran pemerintah sangatlah penting. Hal ini mengingat bahwa faktor penemtu keberhasilan kebijakan redenominasi ini adalah adanya dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk parlemen dan pelaku bisnis. Factor ini hanya dapat terlaksana dengan baik jika ada landasan yang tegas mengatur, yaitu adanya Undang-Undang yang disusun pemerintah. Kekuatan material undang-undang ini sangat terkait erat dengan kerja pemerintah, sehingga penyusunannya harus dilakukan oleh orang yang paham, dalam hal ini adalah pemerintah (presiden).
Demikian pula dengan faktor lain seperti masa transisi dan sosialisasi kebijakan ini. Apalagi terkait kondisi Negara kita kepulauan, banyak wilayah terpencil yang bisa jadi sulit dijangkau. Maka, butuh peran pemerintah (Presiden) dalam proses penyusunan aturan yang dapat memastikan terjangkaunya wilayah tersebut, serta bagaimana sosialisasi yang akan dilakukan. Dalam pelaksanaannya, akan sangat membutuhkan peran Ditjen Perbendaharaan sebagai kepanjangan tangan pelaksanaan keuangan Negara hingga daerah terpencil, khususnya terkait pembiayaannya.
Keberhasilan penerapan kebijakan ini akan sangat bergantung dengan ketepatan pemilihan waktu pelaksanaannya. Hal ini terkait penyesuaian kestabilan kondisi makroekonomi, dan kondisi social politik. Maka, bagaimana peran pemerintah adalah memutuskan waktu tersebut dengan melihat factor di atas. Hal ini dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal karena menyangkut asumsi Makro yang terjadi.
Pemerintah berperan atas penyusunan Undang-Undang (kebijakan) ini terkait juga dengan kebutuhan anggaran dalam pelaksanaan kebijakan. Misalnya, karena ada perubahan infrastruktur TI dan system pembayaran, pengadaan, dan pengedaran uang ‘baru’ yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tentang kebutuhan anggaran ini, Kementerian Keuangan, yang berhak mengalokasikan anggaran lah yang harus berperan menetapkan aturannya.
Peraturan tentang operasi pasar harus dipikirkan juga, terkait dengan antisipasi aktif pemerintah dalam menghindari/mengurangi terjadinya inflasi besar-besaran yang terjadi akibat ulah pedagang yang sengaja menaikkan harga di luar keharusan. Juga untuk mengawasi pencantuman dua harga (baru dan lama) selama masa transisi perubahan mata uang yang digunakan. Termasuk adanya penetapan sanksi atas pelanggaran yang terjadi.
Maka, sudah semestinya, pemerintah dalam hal ini presiden melalui pengelola fiscal (Menkeu) menjadi titik tolak perencanaan dan pelaksaannya, bekerjasama dengan Bank Indonesia yang berperan dalam proses moneter yang terjadi. 

Disusun oleh: 
Isnen H.A.G
Windy A.S
(magang @lt.19 SS)

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)