curhatibu.com

Kisah Inspiratif: “Low Vision” Tidak Menghalangiku Mengambil Program S3 di Australia

Di bawah ini kisah Taufik Faturohman, dosen SBM-ITB, yang sedang mengambil program S3 di Curtin University, Western Australia. Dia mempunyai keterbatasan penglihatan yang cukup parah, yang dalam ilmu medis dinamakan “low vision“. Namun dengan keterbatasan penglihatannya itu dia mampu menyelesaikan S1 dan S2, dan sekarang sedang menjalani program S3 sebagai dosen tugas belajar.
Pak Taufik menulis di milis alumni ITB tentang kisahnya yang mengharukan ini. Atas seizin beliau e-mail-nya saya salin ke dalam blog, mudah-mudahan dapat menjadi sumber inspirasi bagi siapapun yang mempunyai keterbatasan fisik agar tidak pantang menyerah dalam menimba ilmu setinggi-tingginya.
~~~~~~~~~~~~~

No disabilities can hold you back

Perth, Maret 2012

Saat ini saya sedang mengambil program PhD di Curtin University, Western Australia. Saya ditugaskan oleh kampus di Bumi Ganesha sana, Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, untuk sekolah (karena masih dianggap kurang pinter hehe…), atas beasiswa dari Putera Sampoerna Foundation.

Saya memiliki kondisi spesial di mata yang disebut Retinitis Pigmentosa (RP). Kalau ditanya bagaimana kondisi mata saya, saya agak sulit menjelaskannya. Yang pasti mah cukup parah.


Waktu medical check up untuk mengajukan visa, dokter yang memeriksa hampir tidak percaya kalau dengan kondisi low vision seperti ini saya akan ambil S3. Tapi itu tidak mengecilkan hati saya. Saya malah bangga karena dengan kondisi seperti ini saya bisa meraih apa yang tidak mudah diraih oleh orang yang bermata normal sekalipun. Alhamdulillah… Segala puji bagi Allah.

Semua dokter yang saya temui (termasuk di Perth sini) menyatakan bahwa mata saya tidak dapat diobati. Akan tetapi sebagai seorang muslim saya harus yakin bahwa yang Maha Menyembuhkan hanya Allah, dan kita harus tetap berusaha mencari solusinya. Beberapa dokter bilang kalau kondisi ini bersifat genetis. Sesuatu yang nampaknya masuk akal, karena adik saya yang laki-laki pun mengalami kondisi yang sama. Alhamdulillah dia akhirnya bisa lulus dari jurusan Fisika ITB, meski dengan perjuangan yang luar biasa. Jujur, saya sempat agak ragu kalau dia akan lulus (sori ya De). Sebaliknya, adik saya yang perempuan tidak mengalami masalah dengan retinanya. Dia relatif jauh lebih lancar dalam studinya, dan lulus dari S1 di Kimia dan S2 Teknik Kimia (keduanya di ITB) dengan baik. Selama kuliah S2 dia juga mendapatkan beasiswa karena prestasinya yang baik. Kuliahnya memang lebih lancar, tapi bukan berarti dia lebih cerdas, hanya matanya saja yang lebih bagus hehe…. Maaf bercanda. Kami memang sangat kompetitif dalam berbagai hal. Meski sering saling mencela, saya bangga pada adik-adik saya. Mereka hebat (meski nggak sehebat kakaknya haha…). Maaf, lagi-lagi bercanda.

Dua tahun pertama di negeri asing, saya benar-benar struggling, di dalam dan luar studi. Semua serba baru dan semua harus dapat dilakukan sendiri. Meski Alhamdulillah banyak rekan dan sahabat yang selalu siap membantu, basically you’re on your own. Banyak trik yang saya lakukan to make life easier, antara lain:

1. Menyimpan barang-barang di tempat yang mudah terlihat dan mudah diingat.
2. Ketika sedang menunggu bis, saya akan minta tolong orang lain untuk memberi tahu nomor bis yang lewat. 

Sebetulnya nomornya cukup besar, terpampang di atas windshield, tapi tetep aja nggak keliatan. Otomatis saya tidak boleh malu atau segan bertanya. Harus cuek. Tapi dengan begini saya bisa berkenalan dengan banyak orang. Lelaki, perempuan, tua, atau muda. Tidak hanya warga setempat, tetapi juga warga dan pendatang dari berbagai penjuru dunia. Mulai pekerja, pelajar, sampai mantan manusia perahu pencari suaka. Sangat menarik. Tapi yang paling seru kalau bertemu orang yang berasal dari kota atau negara dengan tradisi sepak bola kuat. Nunggu bis jadi nggak kerasa kalau sudah ngomongin bola. Tapi saya lebih suka membicarakan klub dibanding tim nasional. Sedih kalau ditanya soal tim nas kita. Apalagi beberapa waktu lalu kita baru saja dibantai 10 gol tanpa balas. Rekor terburuk sej ak berdirinya negara kepulauan terbesar di dunia yang kita cintai ini. Tragis. Kembali ke halte bis, kalau tidak ada orang yang bisa saya tanyai, saya terpaksa memberhentikan semua bis yang lewat. Maaf ya pak supir, habis bagaimana lagi….

3. Saya berusaha menghapalkan situasi di tempat-tempat yang sering saya datangi. Posisinya, pohon-pohon di sekitarnya, apapun yang memudahkan saya mengidentifikasi tempat tersebut. Sebagai contoh, ruangan supervisor saya adalah pintu ke tiga dari lift. Jadi saya menghitung pintu, bukan membaca namanya yang terpampang di pintu ruangannya, karena saya tidak bisa membacanya. Percaya atau tidak, saya sampai hapal jumlah tangga dan anak tangga yang ada di sepanjang jalan utama main campus. Tujuannya adalah agar saya tidak jatuh kalau saya melewati tangga itu apabila harus buru-buru :)

4. Apabila melakukan presentasi riset, saya harus memahami bahan dengan sangat baik, karena saya tidak bisa mengandalkan tulisan yang ada di slide. Kalaupun saya bisa membacanya, saya butuh waktu lama. Jadi paling tidak, saya harus menghapalkan judul tiap slide, atau saya menulis judul dengan font ekstra besar, sehingga lebih mudah dibaca. Dalam menjelaskannya, saya harus banyak melakukan improvisasi. Hal ini juga saya lakukan ketika mengajar di SBM.

5. Banyak berdoa dan minta didoakan, agar Allah memudahkan semua urusan.
6. Dan lain-lain.

Masih banyak trik dan rutinitas yang saya lakukan untuk mempermudah aktivitas saya. Most of the time memang berhasil. Akan tetapi, tidak jarang gagal juga. Sering kali saya tidak berhasil menemukan barang yang saya simpan karena lupa di mana saya menyimpannya. Atau salah naik bis. Atau salah masuk ruangan. 

Saya bahkan pernah salah masuk ke toilet perempuan. That was an honest mistake, bukan berniat ngintip hehe…. Kalau nabrak tiang, jatuh dari tangga, atau kesandung mah sudah biasa. Alhamdulillah paling parah hanya memar-memar, luka kecil, atau pakaian robek :) . Di tempat gelap saya hampir tidak bisa melihat apa pun. Dalam situasi seperti itu saya harus dituntun atau berjalan dengan sangat pelan sambil meraba-raba. Tapi saya masih bersyukur, masih banyak orang yang benar-benar tidak bisa melihat sama sekali.

Menyadari kondisi penglihatan yang buruk, saya mengajukan aplikasi untuk mengambil program PhD di Curtin Business School tanpa menyebutkan kondisi tersebut. Saya tidak merasa disable. Saat itu saya sangat yakin kalau saya akan berhasil melewati program doktoral ini dengan baik, karena toh saya juga berhasil mengantongi gelar sarjana dan master dari ITB. Kepercayaan diri yang ternyata berlebihan, bahkan mendekati kesombongan. Astaghfirullah….

Alhamdulillah… di kampus saya mendapat support yang saya butuhkan. Saya memiliki supervisor-supervisor yang sangat kompeten dan pengertian. Belakangan, saya juga disarankan untuk berkonsultasi dengan disability counselor. Awalnya saya agak reluctant untuk melakukannya. Saya nggak yakin mereka bisa membantu masalah saya. Dan sekli lagi, saya tidak merasa disable.

Ternyata saya salah. Banyak bantuan dan kemudahan yang mereka sediakan untuk membantu aktivitas saya, terutama dalam studi dan riset. Di Robertson Library, yang berada di main campus, terdapat satu ruangan khusus yang disediakan untuk student dengan kondisi istimewa seperti saya. Saya baru sadar, ternyata saya tidak sendiri. Ruangan ini benar-benar eksklusif, seperti the chamber of secret di Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry hehe…. Bedanya adalah tidak diperlukan mantra khusus untuk dapat memasuki ruangan ini. Di depan pintu ruangan ini ada alat pemindai alias scanner untuk memindai kartu mahasiswa. Pintu ruangan ini hanya akan terbuka bila diakses oleh kartu mahasiswa yang telah diberi security clearance.

Di dalam ruangan ini banyak terdapat alat canggih. Ada sejenis proyektor yang dapat menampilkan buku atau teks berbentuk hard copy ke layar. Ada pula komputer yang dapat menampilkan interface dengan perbesaran dan warna yang bisa kita atur. Komputer ini bahkan bisa membacakan apa yang tertera di monitor, termasuk membacakan dokumen-dokumen berbentuk soft copy. Tidak cukup dengan itu, saya juga dibekali dengan ZoomText, sebuah software yang bisa membuat PC saya semakin cerdas. Secerdas komputer di library yang bisa saya atur perbesaran dan kontrasnya, serta saya perintahkan untuk membacakan apa yang ada di screen. Laptop saya sekarang sudah bisa membaca dan berbicara! Masih belum selesai sampai di situ. Saya juga dipinjami sebuah electronic magnifier. Alat mungil yang belakangan saya tau ternyata harganya hampir sepuluh juta rupiah. Alat bernama SmartView ini sangat membantu saya dalam membaca buku dan bentuk hard copy lainnya. Sesuatu yang sudah sangat sulit saya lakukan, meski 
dengan bantuan kaca mata.

ZoomText dan SmartView sangat membantu saya, sehingga saya tidak perlu menyengaja datang ke library hanya untuk membaca. Alhamdulillah, banyak bantuan yang saya terima. Dari kampus baik di Curtin maupun SBM, sponsor, supervisor, teman-teman, keluarga, bahkan dari orang yang tidak saya kenal. Tentu saja support dari orang tua dengan doa yang dapat menggetarkan langit. Tanpa mengecilkan itu semua, saya mendapatkan dukungan luar biasa dari istri tercinta. Dia tanpa kenal lelah dan dengan kesabaran hampir tak terbatas begitu setia mendampingi saya. Bukan hanya mendorong dari segi moral, dia juga membantu riset saya. Dia adalah partner yang baik dalam berdiskusi, pengetik yang handal, dan penginput data yang telaten. Saya benar-benar tidak tahu apa yang bisa saya lakukan tanpa dia. Alhamdulillah progress riset saya berjalan jauh lebih cepat sejak kehadirannya. Dia benar-benar perempuan super. Semua itu dilakukannya sewaktu hamil, dan saat ini sedang menyusui bayi kecil kami.

Pentingnya keberadaan istri semakin terasa kala saya sedang down. Saya berusaha selalu positif dengan kondisi mata saya. Akan tetapi tidak jarang juga saya merasa frustasi dengan keadaan ini. Saya paling tidak suka kalau saya tidak bisa melakukan sesuatu yang sebenarnya mudah. Di saat mood saya sedang jelek, saya bisa sangat marah bila misalnya saya tidak bisa menemukan suatu barang. Saya marah. Marah pada diri sendiri karena tidak bisa melakukan sesuatu yang sangat mudah. Tapi efeknya saya juga marah pada orang lain, dan yang paling sering terkena dampaknya adalah istri tercinta. Terkadang dia juga kesal, suatu reaksi yang wajar. Namun most of the time dia luar biasa sabar menghadapi saya. Dia malah memberi semangat dan membesarkan hati saya. Dia sering kali mengingatkan saya pada salah satu episode Kick Andy yang pernah kami tonton bersama. Di episode itu, bang Andy mewawancarai orang-orang hebat dengan kondisi tuna netra. Ada seorang ibu yang berhasil meraih gelar master di Belanda. Ada juga seorang bapak dari Makasar yang menolak bersekolah di Sekolah Luar Biasa, sampai akhirnya meraih gelar sarjana hukum dan bahkan menjadi salah seorang anggota Komnas HAM. Isteri saya selalu bilang “mereka aja bisa, jadi Abi juga pasti bisa”. Saya bilang mereka itu orang-orang hebat, dan saya nggak bisa kayak mereka. Tapi dia selalu meyakinkan kalau saya bisa. Subhanallah…. She really is my better half. A much better half of me.

Akhir Mei ini tepat tiga tahun masa studi saya berjalan. Saya mungkin belum bisa menyelesaikan studi tepat tiga tahun. Tapi saya menargetkan untuk menyubmit tesis doktor saya akhir 2012 ini, insya Allah.

Selain studi, saya juga aktif di berbagai aktivitas sosial. Bukan hanya karena saya diwajibkan oleh pihak sponsor, tapi karena memang saya tidak bisa lepas dari kegiatan-kegiatan sosial. Saya pernah mengikuti kegiatan Curtin Volunteer. Saya juga pernah menjadi pengajar di Taman Pendidikan Al Quran di Mushalla Curtin University. Dalam dua tahun terakhir saya juga selalu diberi tugas sebagai host pada acara shalat Idul Fitri dan Idul Adha yang diselenggarakan oleh Konsulat Jendral Republik Indonesia di Australia Barat. Saat ini saya diberi amanah (lebih tepatnya dipaksa hehe…) menjadi sekretaris jendral Perkumpulan Pengajian Indonesia Perth (PPIP). Konon PPIP merupakan kelompok pengajian tertua di Perth yang kemudian diformalkan dalam bentuk organisasi yang memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sendiri.

Alhamdulillah, di tengah kesulitan yang kami hadapi selalu ada kemudahan. Kebahagiaan kami bertambah sejak kehadiran puteri pertama kami. Aisha Ghina Fathiya, 3 Desember 2011 lalu. Itu berarti bertambah pula tanggung jawab dan kesibukan, but it is totally worth :)

Jujur, tidak mudah bagi saya dalam menjalani ini semua. Tapi saya mendapat support berlimpah dari berbagai pihak, yang membuat saya yakin bahwa saya akan meraih PhD. Kemudian saya akan kembali ke Indonesia, ke kampus, untuk membaktikan ilmu yang saya peroleh di sini.

Pendidikan merupakan hak setiap orang (bagi setiap muslim, menuntut ilmu juga merupakan suatu kewajiban). Bahkan bagi setiap Warga Negara Indonesia, hak itu dijamin oleh konstitusi. Semua memiliki hak yang sama, termasuk untuk yang memiliki keterbatasan secara fisik. Pendidikan sering kali berharga mahal. Di situlah diperlukan dukungan dan komitmen dari pemerintah.

Tulisan ini saya buat untuk mengingatkan diri saya sendiri, betapa banyak nikmat yang saya terima. Alhamdulillah apabila ini juga bermanfaat bagi orang lain. Terima kasih atas kesabaran Anda membaca sampai akhir. Semoga ada manfaatnya.

Salam
Taufik Faturohman
PhD Candidate, Curtin Business School, Curtin University, Western Australia
Tutor at Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung
Putera Sampoerna Foundation Scholar
E-mail: taffy_foreman@yahoo.com

(artikel ini di ambil dari  Catatan Dosen ITB - Rinaldimunir )

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)