curhatibu.com

Dan pujianmu, menyembelih leherku!

Dia tertunduk. Aku tak tahu kalimat apa yang akan disampaikan kemudian. Yang ku tahu, ia meneteskan air mata. Dalam gelap lampu yang kami ciptakan.

“Kalian tidak tahu sebenarnya saya.”, itu kalimat yang terucap pertama kali, setelah prakata pesan dan kesan padanya kami sampaikan.

“Allah masih menutup aib saya, dari kalian semua. Allah masih menutup keburukan-keburukan saya……” terhenti, ia sesenggukan, “dari pandangan mata kalian. “

“Maka, saya bersyukur, karena hanya yang baik-baiklah yang nampak pada kalian, sehingga karena itu mungkin kalian masih bertahan membersamai saya sebagai sahabat kalian. Coba kalau satu saja aib diri dibuka oleh Allah, satu saja. Saya yakin, kalian akan meninggalkan saya. Dengan jijik, melihat dosa saya itu.”, lanjutnya, “Alhamdulillah…”.


Kami hanya terdiam. Sejujurnya, kalimat-kalimat ini tak sedikitpun terbesit dalam pikir akan diucapkan oleh sahabatku yang satu ini. Tapi kemudian, aku menyadar, bahwa, sungguh, beruntungnya aku berkesempatan mengenal dirinya. Meski mungkin tak banyak yang ku tahu tentangnya.

Lalu hatiku bertanya, “Beginikah perasaan seorang yang Engkau jaga kebersihan hatinya, Allah? Engkau sayangi dengan memberinya pemahaman yang lebih, lebih atas diri kami. Memberikan ilmu, dan hati yang mampu menangkap sinyal-sinyal nurani iman dariMu?”

Lampu masih gelap. Suasana hening dalam jeda bicaranya. Sesekali hanya terdengar isaknya. Sesekali juga, terdengar gesekan  tikar karena beberapa dari kita membenarkan posisi duduk.

“Sesungguhnya, saya tidak lebih senang mendapat pujian ketimbang cela. Pun sebaliknya, tidak lebih sedih mendapat cela ketimbang puji. Tapi kalau saya boleh memilih, saya lebih senang jika diingatkan atas salah saya, atas cela yang mungkin tanpa sengaja kalian lihat dari setiap pertemuan dengan saya. Saya lebih senang dengan teguran, ‘ukhti, semestinya kamu tidak boleh demikian..’, ketimbang pujian, ‘subhanallah, saya kagum denganmu. Kamu luar biasa!’. Sungguh.”, pelan suaranya.

Kami tertegun. Seperti sedang ditegur dengan keras. Ada yang salah telah kami lakukan padanya. Aku jadi ingat dengan sebuah kalimat, “Pujianmu pada seseorang itu ibarat kamu menyembelih lehernya!”. 
Tidak salah lagi.

“Saya hanya takut dengan pujian. Saya merasa belum kuat menerimanya. Saya takut ada niat yang kemudian melenceng. Meski mungkin, semangat saya bisa lebih baik. Tapi saya tidak yakin bahwa hal itu menjamin kelurusan niat di awal. Karena hati itu sangat mudah berbolak-balik. Pun niat hati sangat mudah bergoyah dari keharusannya”, jelasnya kemudian, seolah menjawab Tanya hatiku.

Anganku berlarian, tertuju pada tulisan Aa Gym, yang pernah kubaca di eramuslim.

“Mengapa ada orang yang memuji? Karena mereka tidak mengetahui siapa diri kita sebenarnya. Kalau orang lain ternyata mengetahui yang sebenarnya, pasti tidak akan mau memuji. Bila kita dipuji dan menikmatinya atas sesuatu yang tidak ada pada diri kita, maka hal tersebut akan menimbulkan bahaya, karena menjadikan kita yakin atas apa yang dikatakan orang tersebut, sebagai suatu pujian, yang berarti kita sudah bersikap tidak jujur kepada diri kita sendiri. Padahal orang-orang memuji tidak lain hanya menyangka saja. Sebab utama kita dipuji dan dihargai orang lain karena Allah masih menutup aib, maksiat, dan dosa kita.

Semestinya pujian itu bisa menjadikan diri kita malu, karena mereka menyangka sesuatu yang sesungguhnya tidak ada pada diri kita. Tapi bagi seorang pecinta dunia, dia akan menikmati sesuatu yang tidak ada pada dirinya itu, yang artinya dia sudah berbuat bohong pada dirinya sendiri.

Dan yang paling parah dari pujian ini adalah kita menjadi terpenjara, Misalnya, bila seseorang sudah terlanjur dipuji dengan pujian sebagai orang shaleh, kemudian kita akan merasa takut apabila cap shaleh tersebut hilang pada diri kita, sehingga kita akan melakukan apa saja agar pujian itu tidak hilang diberikan kepadanya. Akibat dari pujian itu pun, maka akan dengan mudah kita bisa menyalahkan/merendahkan mereka yang dianggap tidak shaleh.

Dia akan terbelenggu dan terpenjara oleh status tersebut. Dia akan sulit menerima kebenaran dari orang lain, dan mengakui kekurangan dirinya.

Sikap senang dipuji pun berakibat terhadap tidak akan adanya rasa ikhlas. Dia akan beramal berbuat hanya untuk mempertahankan pujian itu. Misalnya, dia akan mengatur penampilannya agar bisa dipuji orang lain. Bila demikian, ia tidak mungkin dikategorikan ikhlas. Ia melakukan apa pun bukan untuk Allah lagi, tapi untuk kemasan.

Pujian itu bahaya kalau kita tidak hati-hati menyikapinya. Bahkan akibatnya bisa menjadi malapetaka. Bisa menipu diri, dan menutup diri dari nasihat orang, serta menghancurkan keikhlasan. Keadaan ini bisa menjadi penjara, dan sedikit orang bisa lolos. Misalnya, penyematan panggilan ustadz terhadap seseorang. Hal itu bisa membuatnya menjadi terjebak menjadi senantiasa ingin dipuji dihormati.

Islam mengajarkan kita menjadi orang asli, murni, tidak ada rekayasa atau pura-pura; tidak ada kemasan. Kita berbuat hanya satu saja, Allah SWT ridha menerima saja.Orang menerima atau tidak, memuji atau tidak, menghargai atau tidak, yang penting kita melakukan kebenaran sesuai aturan-Nya dan tidak melanggar hak orang lain. Tidak bermuka dua; mulut dan hati bila bersikap mesti sama. Sehingga akan membuatnya terasa enak dan nyaman bagi kita dan sekitar kita. Kalau kita berpura-pura, kita tidak nyaman, dan orang lain pun tidak akan bisa nyaman.

“dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS Al-Hajj:31)

Dari Abu Ma'mar, ia berkata, "Ada seorang pria berdiri memuji salah seorang gubernur. Miqdad [ibnul Aswad] lalu menyiramkan pasir ke wajahnya dan berkata,

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نحثي في وجوه المداحين التراب

"Kami diperintahkan oleh Rasulullah untuk menyiramkan pasir ke wajah orang-orang yang memuji.” (Shahih) Ash Shahihah (912), [Muslim: 53-Kitab Az Zuhd, hal. 68]
  
Lalu, aku terdiam. Mungkin juga seluruh orang di ruang tengah ini. Diam. Hanya hati yang berkata, “Maafkan aku sahabat, semoga Allah senantiasa menjaga keikhlasan hatimu, dan membuat dirimu jauh lebih baik dari apa yang kami lihat… Barakallahu fii umurik…”
 
Wallahu alam. Semoga bermanfaat

19 April 2012, Ruang Anggrek, Bogor
-di sela waktu rehat diseling merdu gerimis di luar sana-

 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)