curhatibu.com

Syura - dalam MENIKMATI DEMOKRASI - part 3


Suatu keputusan itu (menurut Ust. Anis Matta) dipengaruhi oleh beberapa nilai berikut, sehingga menentukan mutu sikap dan keputusan politik:

1. Ketepatan (bukan sekedar kebenaran) atas sikap dan keputusan dengan situasi, tempat, momentum, orang dan institusinya.
2. Efektivitas keputusan dalam mengantar kita mencapai tujuan yang diinginkan. Ini terkait dengan fungsi penyikapan dan pengambilan keputusan, terkait pengaruh yang ditimbulkan oleh keputusan tersebut.
3. Konsistensi kebenaran keputusan, atas kondisi yang sangat dinamis.

Inti politik dalam Islam adalah mendatangkan maslahat sebanyak-banyaknya, dan menolak mudharat sebanyak-banyaknya bagi manusia. Maka, hal itulah -kemaslahatan- lah yang menjadi dasar untuk kita menentukan suatu keputusan, pun untuk mengubah keputusan jika yang diharapkan tidak terealisasi. 

Dalam penentuan 'asumsi' kemaslahatan diperlukan suatu lembaga pengambilan keputusan yang disebut dengan syura. Mengapa harus dengan syura? Karena akal kolektif lebih baik daripada akal individu!

Tentang KEPUTUSAN?
Meski akal kolektif lebih baik daripada akal individu, jangan sampai kita terjebak dengan 'rasa aman' karena telah menjalankan prosedur syura. Hal itu karena pasti akan banyak kondisi yang bisa jadi tidak sesuai dengan kondisi yang kita asumsikan dalam syura. Maka dari itu tetap butuh antisipasi guna menghindari / mengurangi risiko yang mungkin hadir. 

Keputusan SALAH?
Ingat bahwa:
1. Pengambil keputusan adalah manusia biasa
2. Situasi yang dihadapi adalah ruang dinamis. Sangat mungkin berubah dalam tempo singkat. 

Perlu diketahui, bahwa KONSEP syura dalam jama'ah mukminin adalah untuk memenuhi 2 kebutuhan:
1.Kebutuhan institusional - adanya proses kreativitas kolektif yang produktif, namun terkendali. ada keputusan yang akan bisa diambil dengan adanya pemikiran-pemikiran beragam.
2.Keputusan psikologis - adanya kebutuhan setiap anggota atas penerimaan dan aktualisasi diri, dengan tetap menghasilkan yang terbaik untuk jama'ah. 

MANFAAT Syura dalam ANTISIPASI RISIKO:

1. Kesalahan dapat mudah dideteksi, karena dalam proses pengambilan keputusan kita menggunakan asumsi dari tim syura. 
2. Kesalahan ijtihad jama'i lebih mudah ditanggung risikonya karena ditanggung bersama. 

OPTIMALISASI SYURO

Syura mempunyai fungsi instrumental pengambilan keputusan. Fungsi ini hanya akan dapat dilaksanakan jika:
1. Tersedianya sumber-sumber informasi, dalam hal ini fakta akurat dan analisis yang tepat atas suatu perkara
2. Tingkat kedalaman ilmu pengetahuan peserta syura, PLUS dominasi akal atas emosi (rajabatul a'ql) serta sikap rasional yang konsisten.
3. Tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat. 

TRADISI ILMIAH? -inipenting!-

Tradisi ini mengharuskan kita untuk :
"Menghilangkan sikap apriori, merasa benar sendiri, mudah mencurigai NIAT orang lain, meremehkan pendapat orang lain, berbicara tanpa dasar informasi dan ilmu pengetahuan, mengklaim gagasan orang sebagai gagasan sendiri, kasar dan tidak beradab dalam majelis, ngotot yang tidak proporsional, ngambek dan bersikap kekanak-kanakan, mudah menuduh dan memojokkan orang lain, dan seterusnya."

Sikap tersebut akan :
"Memperkeruh suasana diskusi dan perbedaan pendapat. Menekan secara psikologis dan mendorong peserta syura untuk diam dan berbicara sekedar untuk menyelamatkan diri dari fitnah dan perlakuan kasar lainnya. Yang lebih parah, sikap tersebut dapat merusak suasana ukhuwah, dan perlahan menumbuhkan benih-benih perpecahan dalam kehidupan berjama'ah"

Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syura?
Meskipun sudah berupaya menyamakan pandangan melalui proses tarbawi, perbedaan tetap tak akan dapat dihilangkan. Maka dalam hal ini akan sering kita rasakan 'PENGALAMAN KEIKHLASAN'

Apakah Pengalaman Keikhlasan itu?
"Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan keseluruhan pengalaman spiritual sebagai dai"

Kalau terjadi 'Pengalaman Keikhlasan' itu?

1. Tanyakan "apakah pendapat kita itu terbentuk dari 'upaya ilmiah' atau sekedar 'lintasan pikiran' saat syura?". Jika memang berasal dari upaya ilmiah, tak apalah kita berupaya mempertahankan. Namun jika HANYA lintasan pikiran, apalagi sampai sama-sama ngotot karena hal tersebut, alangkah buruknya. 
2. Tanyakan dengan jujur pada diri sendiri, "Apakah pendapat yang kita bela itu merupakan 'kebenaran objektif' atau sekedar 'obsesi jiwa'?". Tak seharusnya hanya 'menang-menangan' pendapat siapa yang diterima 
3. Bukankah keutuhan jama'ah lebih diutamakan dan lebih penting dari pada sekedar memenangkan sebuah pendapat, yang mungkin boleh jadi memang benar.
4. Sesungguhnya, dalam ketidaksetujuan kita belajar begitu banyak makna imaniyah. 

Makna Imaniyah dalam KETIDAKSETUJUAN?
"Kita belajar tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwah dan pesatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjama'ah, tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna tsiqah kepada jama'ah. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan : apakah kita matang secara tarbawi atau tidak."

Hhe...Ini tentang Syura.. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hmm... Atas kehendak Allah lah, yang kemudian membuat saya, beberapa minggu lalu menemukan buku ini, 'Menikmati Demokrasi', yang di dalamnya terdapat banyak bab luar biasa. Bab yang membuat saya kembali berlari ke masa lalu. Masa yang mengagetkan (hadirnya), mengkhawatirkan (perjalanannya), mengenaskan (karena tanpa ilmu menjalaninya), tapi (semoga tidak) menghancurkan (karena pengelolaan yang tidak berdaya pemahaman). Ah, tapi di balik semua, masa-masa itu adalah masa yang penuh hikmah. Satu, Allah ingin  adanya percepatan kepahaman untukku (kita). Dua, Allah ingin saya (kita) belajar lebih banyak mengenai jalan (yang sangat asing bagiku saat itu). 

Kembali ke kalimat pertama, ini tentang Syura. Dan jalan selama ini adalah penuh dengan kemestian menghasilkan keputusan-keputusan (baik berdampak menyeluruh, ataupun sebagian saja).

Ya, dan setiap kalimat yang terlesaikan dalam bab ini, selalu membuat hati saya berdegup, tertusuk, tertohok atau apalah namanya. Yang pasti, demikian lah (mungkin) cara Allah membuatku belajar...

Semoga saya, dan kalian dapat belajar dan merenungkan hal ini, demi kemaslahatan yang lebih banyak selanjutnya..:)

Dari Buku Menikmati Demokrasi karya Ust. M. Anis Matta, bab 13 s.d. 16
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)